"Anak saya menangis waktu tahu mbah Surip meninggal," kata ibu paruh baya yang duduk di sampingku dalam perjalanan pulang kantor. Putrinya yang berusia 5 tahun, sangat ngefans dengan mbah Surip. Namanya anak-anak, setelah tahu mbah surip meninggal, ia pun bertanya mengapa orang yang meninggal harus dimakamkan. Tapi, sejurus kemudian, ketika ia melihat Mbah Surip menyanyi di layar kaca, ia pun berujar," Tuch Mbah Surip masih hidup. Buktinya ada di TV Ma." Sang ibu pun menjelaskan," itu rekaman Nak."
Cerita anak-anak yang mengidolakan Mbah Surip bukan hal baru. Lagu Tak Gendong memang disukai semua kalangan, termasuk anak-anak. Sehingga, ketika mendengar si Mbah meninggal, anak-anak itupun ikut berduka. Entah itu karena kesadaran mereka atau hanya terbawa pemberitaan media.
Ketika jenazah Mbah dibaringkan di Bengkel Teater milik WS Rendra di Depok pun, tampak banyak anak di sana. Bahkan, setelah dikebumikan banyak murid SD yang ziarah ke kuburnya. Ada yang datang sekedar berdoa, melihat-lihat, ada juga yang membawa bunga dan menaburkannya di atas makam si Mbah dan mendoakannya.
Ah si Mbah, meskipun engkau telah pergi dan meninggalkan qta semua, lagumu tetap menghibur. Hidupmu yang sangat sederhana mewakili rakyat jelata yang miskin di negeri yang kaya raya. Laku hidupmu hingga meraih ketenaran membawa inspirasi bagi semua orang, sukses milik setiap insan. Kejujuranmu, kepolosanmu, dan tawamu menjadi penyejuk masyarakat yang sehari-harinya telah lelah dengan sandiwara politik para penguasa di negeri ini. Engkau Semar, teladan kesederhaan dari rakyat jelata, tanpa harta dan tahta.
Tak Gendong Ke Mana-mana
Tak Gendong Ke Mana-Mana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar