Kamis, 25 Februari 2010

Salon, Fashion Show, Muludan

Aku sibuk mendandani puluhan anak perempuan. Mereka membawa sarung dan kerudung. Satu persatu teman sebayaku ini aku benahi sarung dan kerudungnya. Satu beres, ganti yang lain. Acapkali mataku menatap jam dinding kayu yang dipajang di gebyok (dinding kayu). “Waduh, wis jam pitu (sudah jam 7 malam),” kataku dalam hati. Aku pun kian tangkas me-make over teman-temanku.
Sekitar 15 menit kemudian urusan wardrobe beres. Rasa puas langsung menyebar berpendar. Aku bak fashion stylist yang sukses merubah penampilan. Bergegas, aku dan pasukan, gadis kecil berusia 12-15 tahun berjalan beriringan ke masjid jami’ kampung, 400 meter dari rumahku. Kadang terdengar suitan dari anak laki-laki yang melihat rombonganku. Setiba di halaman masjid, kami langsung menempati pos strategis, menerima tamu.
Malam ini adalah muludan (peringatan maulid nabi). Masjid di kampungku yang biasanya pelit cahaya, tiba-tiba menjadi terang benderang. Suasana lebih meriah dengan alunan suara Muthoharoh, penyanyi Qasidah Nasida Ria, dari beberapa speaker kotak berukuran segede gaban ditumpuk, diletakkan di pojok depan, mirip penerima tamu…:p
Entah kenapa, tiap melihat speaker hatiku senang. Pasalnya, speaker atau kalau di kampungku namanya salon, identik dengan keramaian. Maka, aku bungah tiap ada suara salon. Tetangga ngawinin anak, menyewa salon. Punya hajat nyunatin anak, pasang salon juga. Pokoknya, kalau mau ramai harus pakai salon atau sound system. Salon ini lebih modern ketimbang toa. Sebelumnya, warga kampung memasang toa di atas batang bambu tiap ewoh (punya hajat nikahan atau khitanan). Era toa di kampungku berakhir sekitar tahun 1988. Ajaibnya, anak-anak akan riang begitu mendengar toa mengalun. Lagunya pun, tak jauh dari Nasida Ria. “Desamu Desaku…Desa yang indah permai….” Bak nyetrum, kepalaku langsung manggut-manggut begitu mendengar lagu kasidah…:p
Tradisi toa berganti begitu ada tetangga yang menyewakan sound system. Namanya Lek Jamiri. Orangnya pendek, wajahnya pas-pasan. Tapi bibirnya selalu tersenyum, memamerkan giginya yang seolah menjadi daya tariknya. Sayangnya, sekarang beliau sudah almarhum. Tiap ada tetangga punya gawe, dengan senang hati Lek Jamiri mendorong speaker kotak dalam gerobak.
Pertama kali melihat kotak hitam bersuara ngebas, kami anak-anak kecil langsung lompat-lompat. Seperti mendapat uang recehan dari orang Cina yang datang ke makam. Di desa kami banyak kuburan Cina. Tiap kaum tionghoa ziarah ke keluarganya, aku dan teman-teman kecilku dengan setia membuntuti mereka. Sampai kami dibagi duwit kacer bergambar burung (Rp 5). Begitu tahu uang logam sudah ada di tangan, kami pun langsung bubar meninggalkan kuburan Cina atau kami sebut bong. Uniknya, mereka bisa membaca pikiran kami yang mengerubung kedatangannya.
Nah, malam ini speaker Lek Jamari yang tertata rapi siap mensukseskan muludan. Maidoh (ceramah) dari Pak Kyai pun bisa dinikmati seluruh warga kampung dan tamu dari desa sebelah. Saat melintas di depan deretan speaker hitam ini, siap-siap saja dada akan berdebar-debar. Bukan seperti orang yang lagi jatuh cinta, tapi lebih mirip kejatuhan beribu ton batu. Rasanya der der der der.
Laiknya remaja pada umumnya, aku dan teman-temanku sesekali lirik sana sini sambil mempersilakan tamu yang datang. Siapa tahu ada yang lumayan. Muludan menjadi momen yang kami tunggu. Karena di sinilah kami remaja putrid bisa show off. Bahkan, ada temanku yang dekat dan nikah gara-gara candaan waktu muludan. Saat teman-temanku cekikikan, aku biasanya hanya mesem. Jaim ceritanya. Herannya, seleraku sangat berbeda dengan teman-teman ABGku ini. Entahlah, di mataku tak ada yang menarik. Padahal, wajahku biasa-biasa saja. Tapi punya criteria cowok idaman di atas rata-rata. Ini namanya tak tahu diri. Atau tepatnya tak pernah berkaca…:p
Sekitar jam 20.00 wib acara dimulai dengan sambutan panitia. Dilanjutkan dengan uraian dari kepala dusun, kepala desa, camat. Walahhh sepertinya lebih panjangan sambutannya daripada ceramahnya. Bagiku, suara mereka seperti angin. Tak kudengar, hanya lewat sesaat. Lelah mendengarkan pidato dari pemuka desa, acara diseling dengan break. Ini adalah waktuku dan teman-temanku. Kami pun unjuk kebolehan. Di sini kami tidak menyanyi kasidah, berpuisi, atau menjadi saritilawah. Tentu tidak. Kami bergerak lincah di antara pengunjung muludan, sementara tangan kami sigap membagi bentel (nasi dibungkus daun pisang dengan lauk seadanya) yang ditaruh dalam rantangan bambu. Saat inilah kami seperti bintang yang bersinar. Mata pengunjung tak lepas mengarah ke kami. Bukan terpana pada paras kami, tapi tertuju pada bentel yang kami bawa.
Acara bagi-bagi bentel yang berlangsung 20 menit, biasanya berlangsung heboh. Acapkali kami harus sedikit tarik urat kalau ada ibu-ibu yang minta jatah lebih dari satu. Kejadian ini sering terjadi. Akibatnya, tidak semua pengunjung kebagian bentel. Kasihan kan. Usai membagi bungkusan nasi, kami kembali ke posko makanan. Biasanya di sana berkumpul remaja putra dan putri. Sesekali candaan keluar yang disambut tawa lepas. Saat seperti inilah aku memilih menyelinap kabur keluar. “Mendingan mendengarkan maidoh dari mbah kyai,” kataku dalam hati.
Aku kembali ke tempat jamaah perempuan yang duduk lesehan di plastik terpal. Sembari selonjor, aku menyimak uraian dari mbah kyai. Sesekali kami sholawatan bareng mbah kyai. Sejam kemudian, sekitar jam 22.00 wib acara usai. Kami pun berduyun-duyun keluar dari kompleks masjid menuju rumah masing-masing. Saat berjalan pulang, aku menantikan muludan tahun depan. Membayangkan akan memakai sarung dan kerudung warna apa. Ah, peringatan maulud nabi yang seharusnya untuk mengingat sejarah Rasulullah, dalam otakku telah berganti menjadi ajang fashion show. Duh, ampuni aku kanjeng nabi. Sungguh bukan maksud hati untuk melupakanmu. Tapi bagaimana lagi, di kampungku jarang ada pesta. Satu-satunya keramaian yang ada ya pas maulid nabi…Speaker masjid masih mengalun…Sholatullah Salamullah Ala thoha Rosulillah….
Cerita masa lalu.

Senin, 22 Februari 2010

Romansa SMA

Mencoba menggulung waktu
Menyentuh kembali keceriaan lugu
Mengusap persahabatan dulu

Ya ya ya aku teringat semua
Berkejaran pelajaran,
Bercumbu dengan katalisator sang guru Hepi
Atau asyik menyimak Pak Guru Cos Teta dalam pelajaran Fisika

Bermain dengan alam
Menyatu dalam jilatan air laut
Atau meneguk segarnya air kelapa muda
Sambil bercanda dengan jagung yang menyembul di tegalan

Aha ha ha, tawaku pecah membuncah
Teringat kawaanan berulah
Membuka dan menemukan benda bertuah
Dalam tas nyentrik teman sebelah
(John Pari, Bastio....)

We are the big fam...my friends

Jakarta, 21 Februari 2010