Sabtu, 03 April 2010

Tak Seputih Sapi Tak Sebuluk Kerbau

Berulangkali aku menatap wajahku. Tak puas, kini kuraba wajah putihku. Hasil kerja sebuah cream murahan. Meski sudah murah, tetap saja aku menawarnya! Sampai mbak penjaga tokonya geleng-geleng kepala. Nih orang bener2 pelit stasiun gambir. Pikirnya. Eh pelit kayak gambir. Pokoknya pahit! Ini adalah parade manusia kurang pede. KIP. Korban iklan pemutih. Tergiur berwajah putih menawan seumpama Aura Kasih weleh weleh weleh...kalaupun apes paling mirip Syahrini uhuk uhuk...

Yess! Wajahku kinclong. Tapi nggak sampai seperti porselen. Mengkilap. Atau bleaching cream yang mujarab membuat muka seperti hasil setrikaan. Licin. Putihnya masih standar. Buluk nggak, mirip sapi juga jauh. Natural.

Gara-gara wajah bersihku, pujian beruntun menimpaku. Rasanya aku seperti mendapat duren jatuh. Langit seakan cerah. Meski mendung tebal menggantung. Atau aku seperti di limusin, padahal sedang keringetan desak-desakan di gerbong kereta yang pengapnya benar-benar dahsyat. Sumpah, kadang aku juga heran. Bisa-bisanya aku menjalaninya dengan perasaan senang. Padahal saat di dalam gerbong itu, aku tak ubahnya kambing atau sapi yang desak-desakan di truk. Malah masih mendingan mereka. Hewan itu tak perlu desak-desakan. Karena jumlahnya sama. Lah, kalau naik di KRL ekonomi, turun satu, naik sepuluh. Kebayang kan?

Penderitaan itu langsung melayang jika mendengar pujian dari sekitar. Padahal, saat itu rupaku tak karuan. Keringat meleleh, bedak sudah hilang. Bahkan lipstik pun tak tertinggal sisanya. Itulah konsekuensi kalau kamu setia pada barang murahan. Batinku. Sialan.

Mulanya, kaget, akhirnya aku kian terbiasa. "Sekarang kok kinclong sih?" Pasti dulu-dulu melihatku nggak pakai kaca mata. Protesku. "Kamu cantikan sekarang San." Baru sadar ya, dari dulu gue memang mirip Dian Sastro tahu. Kataku dalam hati. Yah, pujian-pujian itu menjadi bonus atas jerih payahku menyapu wajahku.

Tapi yang paling bete, saat semua orang memuji, tidak dengan my bebe. Sadar saja tidak, kalau muka belahan jiwanya putihan sekarang. "Mas, ada yang berubah nggak dengan wajahku?" Eh, dia cuman bengong. "Apanya ya yang beda?" katanya polos dengan muka tak berdosa. Oh, my God! Makanya, waktu melihat iklan produk pemutih yang menampilkan pasangan jadi lebih cinta pada kita, aku rasanya ingin nyamperin sutradaranya. Ingin kusampaikan, kalau laki-laki itu tidak memperhatikan wajah kita putihan atau iteman. Lah, kalau begitu, untuk apa mutihin wajah ya? Ya juga ya. Jawab kata hatiku. Mending hati saja dulu diputihin. Tapi masalahnya hati putih dan hitam nggak kelihatan. Kalau wajah kan kelihatan bo'. Minimal kayak elo, dapat pujian. Batinku. Whatever, sekarang yang pasti wajahku tak seputih sapi tapi juga tak sebuluk kerbau. Emmmeeehhhhh....:p

Jumat, 02 April 2010

Hujan

-Teruntuk my bebe

Arakan hitam memenuhi angkasa
Ah, mendung menggantung di cakrawala

Titik air menyentuh bumi
Sebagian rintiknya membonceng di pucuk daun
Atau menetes pada sebatang dahan

Gerimis kecil menyulap dirinya menjadi hujan
Datang bersama kawan
Sang kilat dan halilintar

Mari kita rayakan
Mari berhujan-hujanan
Tak usah takut pada hujan
Jika ia datang untuk suburnya kehidupan

(Sembari menatap awan menawan di langit Selatan Jakarta)

Macet

Suara knalpot motor pecah
Greng greng greng
Mobil ikut teriak
Din din din

Deretan mobil tak jalan
Maju dua menit
Diam seperempat jam
Wajah wajah gelisah dan muram
Menyebar di bus angkutan
Juga di sedan nan nyaman

Barisan kendaraan diam itu tak di parkiran
Tetapi mengulart di jalan
Terperangkap dalam jerat kemacetan


(Jakarta, di atas sebuah kopaja, betapa gerahnya...."cepetan dong bang!")