Kamis, 23 April 2009

Pulang



“Mas capek ya, minum teh hangat dulu, biar lebih santai dan hilang penatnya,” ujar Larasati sambil melepas helm dan jaket suaminya yang baru pulang kerja. Nita, putri kecil mereka langsung lari menghambur ke pelukan sang ayah.
“Ibu..., ayah mana kok ga ada di kamar?” Nita menangis berlari ke arah ibunya. “Ah...aku melamun lagi...Rabbi...kuatkan imanku ya Alloh...” pinta Laras. Tangisan Nita membangunkan lamunannya. “Adik kangen sama ayah ya?” Gadis kecil berusia 3 tahun itupun mengangguk sambil sesenggukan. “Bunda juga kangen kok.” Laras pun memeluk putrinya. Tak terasa bulir-bulir bening menetes dari kelopak matanya. Ah, suami yang sangat ia cintai, penuh kasih dan bertanggung jawab kepada keluarga telah pergi. “Aku kangen sama kamu Mas. Kapan kamu kembali,” ujar Laras lirih dan sesaat kemudian ia beristighfar. “Ya Allah, aku harus merelakannya, ikhlas.”
Pandangan Laras tertuju pada surat yang baru ia dari PT Karya Selaras, perusahaan tempat suaminya dulu bekerja dan akhirnya di-PHK. Amplop putih itu merajut kembali kenangan indah bersama suaminya. “Andaikan surat itu datang lebih cepat,” gumam Laras.
Laras dan suaminya bernama Budi tinggal di kontrakan petak di gang sempit daerah kumuh dekat Pasar Turi Surabaya. Budi bekerja sebagai buruh pabrik biskuit. Kendati penghasilannya tak seberapa, mereka selalu mensyukuri rejeki yang diperoleh. “Pintu rejeki Alloh itu selalu terbuka lebar kalau kita mau berusaha Dik,” ujar Budi setiap kondisi keuangan menipis karena melambungnya kebutuhan keluarga. Belum lagi membayar kontrakan, mengirim uang untuk orang tuanya yang telah lanjut usia dan sakit-sakitan serta membiayai pendidikan adik-adiknya. Beban berat yang harus ditanggung.
Kondisi itu melecut semangat Budi untuk menjemput rejeki. Kendati bekerja di pabrik telah menguras tenaganya, ia masih nyambi usaha kerupuk. Kadang Laras tidak tega melihat perjuangan suaminya. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak karena ia tidak bekerja dan sedang mengandung Nita. Sepulang kerja, Budi kulakan kerupuk kiloan di Pasar Turi. Setelah melepas penat, agak larut, ia membungkus kerupuk ke dalam kemasan kecil yang dihargai Rp 500 dan Rp 1000. Paginya, sebelum berangkat ke pabrik, Budi menyetor kerupuk ke warung-warung sekitar kontrakan dan pedagang pasar. Begitulah aktivitas sehari-harinya. Sebagai istri, Laras pun tidak mengeluh dengan kondisi mereka yang serba kekurangan dan berusaha melayani suami sebaik-baiknya, memijat suami, dan memasak makanan kesukaan suaminya.
Namun, setahun kemudian semuanya berubah, tepat setelah kelahiran putri pertamanya, Nita.Selasa malam, Laras mendapati suaminya pulang dengan wajah lesu. “Ada apa Mas, Mas baik-baik saja kan?” tanyanya dengan raut cemas. Laras pun membimbing suaminya duduk. “Dik, maafkan Mas ya. Mas bukan suami yang baik. Mulai besok Mas sudah tidak bekerja lagi di pabrik, di-PHK.” Kendati ia pun sedih mendengar berita itu, Laras berusaha tersenyum dan menatap suaminya,” Mas sudah berusaha menjadi suami baik. Pintu rejeki Alloh luas. Alhamdulillah kita masih diberi kesejatan.” Budi pun sedikit lega melihat istrinya yang sabar dan tabah, tapi ia tetap merasa bersalah. Terbayang ia tidak bisa lagi memberi uang belanja Laras dengan jumlah cukup, kiriman untuk orang tua dan adiknya pun terhenti.
Setelah di-PHK, Budi melanjutkan usahanya berjualan kerupuk di pasar. Karena fokus menangani penjualan, kini pelanggannya semakin banyak. Bahkan, enam bulan kemudian, ia bisa menyewa kios di Pasar Turi. “Alhamdulillah, kita sudah bisa menyewa kios,” ujarnya kepada Laras. Keuangan mereka pun mulai membaik.
“Dek, tadi dik Win nelpon ngasih tahu, Bapak sakit, besok kita pulang ke Semarang ya,” ujar Budi ke istrinya saat nonton TV. Paginya, mereka berangkat ke Semarang naik bus Indonesia. Ternyata kondisi bapak Budi sudah kritis. Ia pun memasukkan bapaknya ke RS. Karyadi. Sebelum balik ke Surabaya, tidak seperti biasanya, Budi menyempatkan diri pamitan ke seluruh keluarga besarnya yang berada di Demak dan Kudus. Saat itu, kondisi Budi sedang tidak fit, ia sering pusing.
Dua minggu setelah itu, Budi ingin pulang lagi ke rumah orang tuanya di Semarang. “Mas kan lagi ga enak badan, masak mau mulih ke Semarang. Ojo ndisik yo. Mengko yen wis mari, Mas entuk bali,” bujuk Laras. Entah kenapa, keinginan laki-laki sederhana tamatan SMA untuk pulang kampung dan bertemu ayahnya yang sedang sakit sangat kuat. Namun, ia baru sadar kalau belakangan ini banyak pedagang langganannya yang berhutang. Alhasil, keuangan laki-laki berusia 33 tahun itu menipis . Ia kemudian mencoba meminjam adiknya yang kebetulan bekerja di Surabaya, ternyata adiknya sami mawon, sedang tongpes alias kantong kempes. Akhirnya, Budi hanya pasrah dan tidak jadi pulang kampung.
Senin pagi,dua hari setelah Budi mengurungkan niatnya bersilaturrahim ke orangtuanya, ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Akhirnya Budi berobat ke rumah sakit Dr. Soetomo. Dokter memutuskan Budi harus diopname. Laras menunggui suaminya dengan sabar. “Mas harus kuat ya, terus berdoa. Demi Nita dan bayi yang ada di kandunganku,” bisik Laras sedih. Budi pun mengangguk.
Esoknya, Selasa pagi, Budi menanyakan Nita. Laras pun mendekatkan anaknya ke wajah ayahnya. “Cium ayah sayang,” ujar Laras. Putri kecilnya langsung mencium ayahnya dan berkata,” ayah cepat sembuh ya,” ujarnya dengan nada bicara yang belum jelas. Budi pun tersenyum. Ia menatap lekat istrinya dan menggenggam tangannya. ” Mas minta maaf ya atas kesalahan dan kekhilafan Mas. Tolong jaga dan besarkan anak-anak kita Dek. Kalau nanti Mas tidak ada, tolong dikuburkan di sini saja ya.” Mendengar itu, air mata Laras tak terbendung. “Mas tidak boleh bicara seperti itu. Allah pasti memberi kesembuhan.” Budi terus menatap Laras dan buah hatinya sambil mulutnya melafadzkan nama Allah. Setengah jam kemudian mata Budi terpejam. Laras panik. Ia merasakan tangan suaminya dingin dan kaku, denyut nadi pun tak ditemui. Laras berusaha mengguncang-guncang tubuh suaminya. Tapi tubuh Budi tetap tak bergerak, kaku. Laras menangis, hatinya terluka. “Dokter...,” teriaknya. Ia pun jatuh di samping suaminya tak sadarkan diri. Tinggal Nita yang menangis melihat Ibu Bapaknya.
Selasa petang, jenazah Budi dikebumikan. Kendati berusaha ikhlas, air mata Laras terus mengalir. Beberapa kali ia pingsan. Saat tubuh suaminya dimasukkan ke liang kubur, hatinya perih. “Selamat jalan suamiku sayang. Semoga Alloh memberikan tempat terbaik.”***
Seminggu setelahnya, selasa pagi, surat berlogo PT Karya Selaras datang. Laras mendiamkan amplop itu dan tidak membukanya. Ia sangat terpukul dengan kepergian Budi. Membuka surat itu berarti mengenang kembali kebahagiaan pernikahan. Membayangkan saja Laras tidak sanggup. “Terlalu indah Mas,” ujarnya.
Ada sebentuk penyesalan yang menyusup di hatinya karena tidak mengizinkan suaminya pulang melihat keluarganya, dua hari sebelum kepergiannya untuk selama-lamanya. Ia tahu, suaminya sangat sayang kepada orang tua dan adik-adiknya. Suaminya, anak pertama dengan enam orang adik, dan empat orang diantaranya masih sekolah, adalah kakak dan anak yang sangat bertanggungjawab. Ia tulang punggung keluarga. Apalagi keluarga Budi tergolong keluarga kurang mampu, sama seperti keluarga Laras.
“Bagaimana mungkin aku tidak mengabulkan permintaan terakhirnya untuk pulang,” sesal Laras. Bahkan, detik-detik terakhir pemakamannya, tidak ada keluarga suami yang menyertai, karena mereka masih dalam perjalanan menuju Surabaya, dan sebagian lagi masih menunggui Pak Daji, bapak Budi yang hingga kini masih dirawat di Rumah Sakit. Sementara suaminya berpesan ingin cepat dikuburkan. “Ah...,” Laras menarik nafas berat. “Aku bukan istri baik, maafkan aku Mas” ujarnya menyalahkan diri.
Kembali Laras melihat amplop putih yang tergeletak di meja. Dengan menarik nafas, Laras membuka amplop. Perlahan ia membuka isinya. “Ya Alloh, kenapa baru sekarang panggilan kerja kembali ini datang,” kata Nita menangis mengingat perjuangan berat suaminya berjualan di pasar setelah di-PHK. “Kalau saja datang lebih cepat, mungkin suamiku tidak harus terlalu berat bekerja di pasar. Ia juga bisa membuktikan kalau ia di-PHK bukan karena korupsi seperti yang sering dituduhkan para tetangga. Kasihan sekali kau Mas,” tangis Laras kian kencang. Namun, ia buru-buru menyeka air matanya mendengar tangisan Nita yang kangen ingin bertemu ayahnya. Setelah Nita tidur pulas, ia meraih handphone di luar kesadarannya, ia mengirim sms ke Win, adik suaminya. “Dek, mas Budi tolong suruh pulang ke Surabaya ya.” Setelah sadar, buru-buru ia beristighfar. “Astaghfirullah, ya Allah, kuatkan hamba ya Rabbi.”
Melihat wajah cantik putrinya yang tertidur lelap sambil mengelus perutnya yang kian membuncit, semangat hidup Laras muncul. “Ibu harus bertahan membesarkan kalian sayang.” Ia pun berjanji akan meneruskan usaha suaminya, kulakan kerupuk dan akan tetap merawat cintanya kepada Budi seorang. Di saat itu, ia seperti melihat bayangan suaminya yang tersenyum kepadanya. “Mas, engkau pulang?” Tapi, bayangan itu menghilang. Yang ada hanyalah foto suaminya yang tersenyum bersama ia dan putrinya.***

Rabu, 22 April 2009

Semangat Kartini dalam Seorang Penjaja Roti


"Mbak,kok ga keliling," tanyaku pada pedagang roti keliling yang biasa ngider di stasiun Tebet. "Tuch... di seberang ada tramtib," ujarnya melihat tramtib yang berada di peron jurusan Bogor. Alhasil, Rabu pagi ini (22/4), perempuan penjaja roti bernama Tutik itu hanya duduk manis di bangku penumpang KA sambil sesekali menawarkan roti ke penumpang yang melintas di depannya.
"Sekarang jam berapa sih mbak?" tanya perempuan asal Purwodadi dengan logat Jawa yang masih kental. "Jam 08.00 WIB mbak, kenapa?" "Biasanya mereka (tramtib) ke sini jam 9 pagi," jelas Tutik. "Kalau mereka ada di sini, saya ya hanya diam gini. Nurut saja lah, ntar kalau keliling malah ditangkap," keluh Tutik. "Pernah ditangkap?" "Ga pernah. Saya selalu mematuhi perintah mereka. Kalau disuruh keluar stasiun ya keluar. Kadang saya juga menawarkan roti ke para petugas itu. Lagian saya ini niatnya nyari rezeki halal. Mereka menjalankan tugasnya, saya juga kerja," jelasnya kalem.
"Dari dulu jualan roti?" "Nggak mbak, tadinya saya babby sitter. Setelah nikah milih dagang roti. Biar ga tergantung pada orang, waktunya bebas, sekalian bisa ngawasin anak," ujarnya. Tiap hari, Tutik berkeliling dengan sepedanya menawarkan roti. "Saya jualan di sekitar rumah saya,tuch di sebelah situ," Tutik menunjuk lokasi rumahnya yang berada di sebelah selatan stasiun Tebet.
Jam 07.00 pagi Tutik mulai ngasong di stasiun Tebet. "Sepeda saya titipin dekat stasiun," ujarnya. Biasanya, jam operasi jualan roti di stasiun berlangsung hingga pukul 09.00 WIB. "Kadang juga cuma sampai jam 08.00 WIB seperti sekarang karena sudah ada tramtib," jelasnya.
"Jualannya hanya sampai jam 09.00?" "Ya nggak lah mbak, pagi sampai jam 11.00 WIB, tapi ga di stasiun lagi, keliling naik sepeda di pemukiman penduduk," ujarnya. "Terus?" "Nanti jam 17.00 WIB saya jualan lagi sampai jam 20.00 WIB kadang di stasiun kadang juga ngider," jelasnya.
Dalam sehari, Tutik mampu menjual 20-an bungkus roti tawar dan 30-an roti manis. "Tapi kadang bisa lebih dari itu,"ujarnya. Dengan tren penjualan seperti itu, sehari Tutik bisa mengumpulkan uang sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu untuk dibawa ke rumah. "Untuk mbantu suami dan membiayai sekolah anak," ujar Tutik tersenyum.
Nggak berselang lama, petugas tramtib di peron seberang memberi kode agar Tutik menyingkir dari stasiun. "Mbak, saya pergi dulu ya. Makasih," ujarnya buru-buru mengambil nampan rotinya sambil memberikan dua roti mamis yang aku beli. Melihat semangatnya, aku jadi teringat spirit ibuku, mbakku dan jutaan perempuan lain di negeri ini yang berjuang untuk keluarga dan anak-anaknya menjadi generasi masa depan. Selamat Hari KARTINI PEREMPUAN INDONESIA.

Selasa, 21 April 2009

Mantap Baksonya Mak Nyess Es Krimnya




Bagi penggemar bakso, bisa mencoba bakso didonk loh...Namanya agak nyentrik, meningatkan kita pada permainan ding dong. . . Tapi percaya;ah, baksonya beneran bukan mainan. Ukuran baksonya sih sama seperti bakso kebanyakan...ada yang kecil, ada juga yang sedang. Harganya? Standar lah...Rp 8 ribu.
Setelah makan bakso yang pedas-pedas...bisa nyoba yang seger...ehm apalagi kalau bukan es krim. Semangkuk es krim dibandrol Rp 4000. Kalau mau pake wafel nambah menjadi Rp 5.500. Pertama kali krimnya sampai di lidah...ehmmmmm its so yummy. Mak Nyessssss!!!

Alamatnya di Jalan Cikini 3, seberang TIM atau Hotel Formula 1 (di sebelah kanan jalan dari arah TIM)

Minggu, 19 April 2009

Haruskah Cerai Kala Cinta Usai


“Aku mau cerai San...,” kalimat itu meluncur dari bibir sahabatku Rea. What? Aku kaget setengah mati. Siang itu, aku ketemu Rea di cafe di kawasan Jakarta Selatan. Menurutku, Rea adalah perempuan beruntung sedunia. Betapa tidak, dia mempunyai suami yang sangat mencintainya, menyayanginya, dan care terhadapnya. Tiap mereka jalan berdua, nuansa romansa cinta langsung terasa. Ketika jalan, sang suami akan selalu menggandeng tangannya. Kala mereka bercanda, suaminya tak lupa mengelus dan mengusap-usap rambutnya penuh sayang. Mereka pun selalu tertawa, bercanda kala sedang jalan bersama. Pokoknya bikin iri dech...Dan...pendaran cinta itu semakin nyata kala aku makan bareng mereka. Kedua insan itu dengan sayang menyuapkan nasi ke pasangan. Mereka berbagi makanan dengan rasa sayang. “Alangkah bahagianya pasangan ini,” kata suara hatiku.
"Re, kamu sadar dengan ucapanmu?" "San...sebenarnya dari tahun kemarin aku ingin berpisah dengan suamiku. Tapi dia tidak mau menceraikan aku. Dia sangat mencintai aku." "Re, bukankah itu yang diinginkan setiap perempuan. Dicintai, dikasihi, dan disayang...." ujarku. "Ya...tapi aku merasa ada sesuatu yang salah San," kata Rea. “Kalau kamu gak keberatan, kamu bisa cerita ke aku Re,” kataku meyakinkan sahabatku. Selama ini Rea tidak pernah menceritakan rumah tangganya. Kami kalau ketemu selalu sharing tentang kebahagiaan pernikahan. Bukan kepedihan ataupun getirnya rumah tangga.
“Suamiku terlalu sayang dan cinta kepadaku. All things that I want, selalu dibolehkan,” ujarnya. “Maybe itu sebuah bentuk kepercayaan Re. So, dia sangat percaya pada istrinya,” ujarku. “Tapi tidak begini caranya San. Dia tidak pernah menegurku kalau aku berbuat salah.” “Kalau dia tidak pernah menegurmu, kalian kan bisa discuss, kalo kamu gak nyaman dengan caranya,” kataku berusaha bijak. “Aku sudah berusaha mencobanya, dari tahun pertama pernikahan,” ujar Re. “Aku sudah capek San....”
Aku diam. Rea memainkan ujung-ujung jilbabnya. Ia melihat lalu lalang orang sambil sesekali menggigit bibirnya. “Re...percayalah, masalahmu itu bisa diselesaikan. Tapi tidak dengan perceraian. Perceraian itu hal yang dibenci Allah,” ujarku berusaha menasehati. “Aku yakin kamu punya alasan lain mengapa kamu nekad ingin cerai,” kataku menatapnya tajam. “Ada banyak hal lain. Intinya aku kecewa dengan suamiku, dan itu terjadi ketika tahun pertama pernikahan kami" terang Rea. “Re, menurutku setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Jadi wajar jika ternyata pasangan kita tidak seperti yang kita inginkan dan harapkan,” ujarku menenangkannya. “Re...coba kamu lihat perempuan lain yang dikhianati suaminya karena selingkuh dengan perempuan lain. Atau suami yang suka menyakiti hatinya dengan makian kasar atau main tangan. Kamu tidak pernah mengalaminya kan?”
“San...aku memang tidak pernah mengalami itu semua. Suamiku terlalu baik, terlalu lurus. Bahkan untuk memarahiku dia tidak tega. Seberapapun besarnya kesalahanku. Dia juga tidak pernah cemburu, meski kadang sengaja kupanas-panasi aku agak mesra dengan teman kuliah. Sampai kadang aku bertanya-tanya, seluas itukah hati suamiku?” Rea pun menceritakan kekecewaan demi kekecewaan yang dialaminya.
Sampai ketika aku mulai menyentuh makananku, ucapan pelan meluncur dari mulut sahabatku. “San, aku tidak mencintai suamiku,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. What? Aku kaget setengah mati. "Re...,” aku mengguncang bahu sahabatku. “Kamu sungguh-sungguh dengan ucapanmu? Kamu sadar kan dengan omonganmu barusan," cerocosku. “Aku tidak mencintai suamiku. Aku tahu, kamu bahkan semua orang tidak akan percaya dengan hal ini," ujar sahabatku tenang. "Re, kamu perempuan paling beruntung di dunia," ucapku. "Setiap orang yang ketemu aku selalu bilang begitu San..." kata Rea mengaduk es teler. "Bukankah itu benar?" kataku menambahkan, "punya suami yang sangat mencintai dan perhatian...jarang loh suami seperti itu di zaman sekarang. "
Rabbi...sahabatku yang selama ini aku anggap manusia paling beruntung, wanita paling bahagia di dunia....ternyata...dia sedang galau dengan rumah tangganya. Yah..terkadang, apa dilihat oleh mata kita bukanlah kondisi yang sebenarnya. Aku jadi ingat perceraian beberapa selebriti yang dari luar tampak adem ayem, tetapi di dalamnya remuk redam penuh riak dan gelombang. Apakah selama ini sahabatku juga seperti mereka, para selebriti yang berusaha menjaga imej demi popularitasnya...atau menutup-nutupi kondisi yang sebenarnya? Entahlah...
"Re, kalau kamu tidak cinta,kenapa menikah dengannya?" tanyaku. Sahabatku pun mulai menceritakan kehidupan pernikahannya yang sudah lumayan lama, enam tahun. "Awalnya aku mencintainya San...aku mau menikah dengannya juga karena aku cinta," ujar sahabatku. "Lalu....mengapa cinta itu sekarang seolah-olah sirna?" protesku. "Aku cinta dia hanya delapan bulan..." kata temanku dengan nada sedih. Aku pun berusaha menghiburnya. "Teman, bukankah cinta dalam pernikahan akan lebih bersemi menjadi kasih sayang antara dua insan. Sehingga yang lebih dominan ya kasih sayang," kataku. "Ya...memang akhirnya hubungan lebih ke arah kasih sayang. Tapi, harusnya cinta itu juga masih ada. Aku sekarang sama sekali tidak mencintainya...hanya sayang padanya. Sudah seperti kakak adik...," jelas sahabatku.
"Kamu gak cinta lagi ke suami karena kecewa dengannya?" tanyaku. "Ya...ada banyak hal yang membuat aku kecewa. Bayangan sosok suami yang kudambakan semuanya melayang," kata sahabatku. "Tapi, suamimu itu orang baik, sabar, pengertian dan setia. Apalagi yang kamu cari?" kataku berusaha mempertegas pribadi suami sahabatku itu. Temanku pun diam. Beberapa saat kemudian," ya, suamiku memang baik. Makanya aku merasa sangat bersalah ketika aku sama sekali tidak bisa mencintainya lagi. Termasuk sharing terhadapmu, membuka aibnya. Aku merasa bersalah. Tapi untuk meneruskan pernikahan ini, aku juga tersiksa"
‘Say, kamu harus mencoba menumbuhkan kembali cinta itu," kataku. "Aku sudah mencobanya San, sejak enam bulan pertama pernikahan," keluh sahabatku. Tapi San, kata sahabatku itu, "aku sudah berusaha maksimal untuk mencoba mencintainya, tapi tidak bisa," ujar temanku yang terlihat sangat tertekan dengan masalah yang menderanya.
‘Re...sebagai sahabatmu, aku ingin rumah tanggamu tetap utuh tidak pecah. Cobalah mengkomunikasikan keluhanmu, keinginanmu ke suami. Kalian berdua bisa pergi ke konsultan pernikahan. Aku yakin, masalahmu masih bisa diatasi. Asal ada kemauan dari kamu dan suamimu. Atau bisa jadi kamu terlalu serius dan sibuk dengan karirmu. Sehingga hal-hal kecil yang menjadi kekurangan pasanganmu menjadi masalah besar yang terus menerus menumpuk membesar dan akhirnya menggerus cintamu. Perceraian bukan solusi terbaik Re. Kamu juga harus mempertimbangkan keluargamu, terutama ibumu, masa-masa setelah bercerai. Status janda di masyarakat juga image-nya cenderung negatif. Pikirkanlah matang-matang” ujarku panjang lebar. ‘Ya San...akan aku coba sekali lagi. Tapi, aku tidak tahu, bisa bertahan sampai kapan.”
“Atas dasar cinta, pria dan wanita merajut rumah tangga
Atas dasar cinta pula, perceraian kadang menjadi pilihan
Apakah kala api cinta padam, perceraian satu-satunya sebuah jawaban?”

Margo City's Fashion Show



Menjelang hari Kartini, salah satu mall di kawasan Depok, Jabar, Margo City menggelar fashion show. Seperti yang terlihat pada minggu malam (11/4). Hall Margo City disulap menjadi stage nan cantik. Model pun berlenggak lenggok dalam balutan kebaya karya desainer muda Erdan. Minggu kemarin (19/4) giliran koleksi ready to wear Centro yang diperagakan dengan nuansa kasual. Pas dengan temanya yang nge-rock abis...

Oscar Lawalata's Fashion Show


Oscar Lawalata's Fashion Show

Karya terbaru dari desainer muda Oscar Lawalata kamis (16/4) bisa dinikmati masyarakat luas di Pameran Wastra Kriya Seni Busana di JCC, Jakarta. Baju yang diusung putra dari artis senior Reggy Lawalata ini menggunakan bahan tenun dari NTT. "Saat ini kita sedang krisis. Jadi, harus pintar menggunakan material bagus dengan harga yang tidak mahal," kata Oscar di stand-nya sebelum acara berlangsung.

Merawat Diri Setelah Ada Baby


"Sebel banget ama suami San, masak maunya tubuhku kayak dulu, padahal sudah turun mesin dua kali," kata mba Eva, ibu muda berusia 37 tahun. "Kalau mau seperti dulu gampang mbak, minta aja budget khusus," ujarku. "Boro-boro...buat belanja aja kurang," keluhnya. "Kalo ga bisa ke salon ya merawat tubuh di rumah aja," saranku. "Mana bisa, anak-anak kan ga bisa ditinggal," dalihnya. "Pasti bisa kalo diusahakan," kataku. "Waktu untuk ngurus rumah ama anak aja kurang, apalagi untuk diri sendiri, sudah tidak ada....," kata mba Eva.
Tubuh mba Eva memang kian melar setelah melahirkan anak keduanya. Tubuh langsingnya dulu sudah tidak berbekas lagi. Tubuh melar bukan hanya milik mba Eva. Banyak perempuan lain yang menghadapi persoalan serupa. Mereka ingin tubuhnya seperti dulu, tapi untuk merawat tubuh tak ada waktu. Kalaupun ada duit, kesempatan ke salon atau spa pun sulit. “Anak tidak bisa ditinggal,” begitu alasan Tina, ibu dua anak balita.
Tapi, ada opini beda dari temanku Sasa. “Pasti ada waktu untuk merawat diri setelah kita punya baby. Ibu kita, nenek kita jaman dulu aja bisa. Padahal anaknya banyak, dan ramuannya membuat sendiri, lebih repot. Mereka aja bisa, kita ya pasti bisa. Apalagi sekarang tinggal makai, ga perlu meracik ramuan kosmetik….” Intinya, kata Sasa, “kalau ingin tetap menarik, tetap slim setelah punya baby, ya harus merawat diri dengan perawatan dan senam. Titik.” “Ga ada jalan lain Sa, itu kayak minum minuman pelangsing atau jamu?” tanya mba Eva. “Wah…kalo itu aku ga berani ngrekomendasiin mba,” kata Sasa. “Berarti aku juga harus rajin senam Sa,” ujarku. “Loh…buat apa San, wong kamu udah kurus gitu…nyindir gue ya…hahaha gue kurus tahu dibanding mba Eva hahaha”kata Sasa yang masih lajang 100%. “Apalagi disandingin ma Pretty Asmara….jauuuuuh….,” timpalku.