Minggu, 14 November 2010

Embun Kebaikan

(Bapakku Juara Satu Sedunia-Andrea Hirata)
Kamis pagi (11/11) aku dikejutkan dengan postingan di wall dari seorang teman lama, kawan semasa kuliah di Universitas Indonesia. Selain satu jurusan, kami kerap satu organisasi. Secara garis besar tulisannya sebagai berikut: “Mengenang Susan adalah orang baik yang selalu membantu aku. Ia sabar menjelaskan mata kuliah sebelum kuliah dimulai dan sering kurepotkan.”
Kalimat itu membuatku terharu. Aku sendiri sudah lupa, kalau aku kerap membantu dia. Nah, yang lebih membuatku luruh adalah komentar teman lain. “Ya, Susan bukan hanya baik, baik banget malah. Gue sering minta tolong sama dia. Anehnya dia nggak pernah minta tolong sama gue.”
Tak terasa butiran bening mengalir dari mataku. Ada rasa kelegaan ternyata jejakku sebuah kebaikan di mata teman-teman. Seminggu sebelumnya, sebuah amplop putih dari seorang teman mendarat di meja kerjaku. Aku bingung, kenapa dia mengirim surat untukku. Ternyata, isinya berupa ucapan terima kasih atas kepedulianku kepada keluarganya. Ada sentuhan damai menyapa hatiku kala membaca tulisan tangan itu.
Sejak kecil, lazimnya anak, aku mengamati perbuatan almarhum bapak dan ibu. Hal-hal baik yang mereka lakukan berusaha aku terapkan. Tiap pagi, aku melihat ibu rutin menggelar sholat dhuha selain tahajud dan hajad yang tak putus beliau lakukan. Untuk yang dua terakhir, aku masih bolong-bolong mengerjakannya.
Dari almarhum Bapak, seorang lelaki sederhana, tak punya pangkat, bukan pegawai apalagi pejabat, hanya rakyat kecil yang berusaha membahagiakan keluarganya, aku seperti menemukan mata air kehidupan. Ia seorang yang bijak, generous. Masih lekat di ingatanku, kala beliau sakit menjelang akhir hidupnya, Bapak masih sempat-sempatnya menanyakan keadaan keuangan salah seorang tetanggaku yang sedang mengalami kondisi sulit.
Semasa hidup Bapak sepertinya punya ‘hobby’ menolong sesama. Dari anak-anak gunung yang biasa beliau beri permen saat pulang kerja, mengantarkan tetangga sakit, memberi pinjaman kepada tetangga yang kesusahan, bahkan PNS dan polisi yang biasa mangkal di bengkel sederhananya juga tak luput dari bantuannya. Bapak juga kerap mengantarkan orang-orang gunung yang terlantar (dulu belum ada angkutan), memberi donasi untuk kepentingan desa, dan masih banyak lagi.
Banyaknya kebaikan yang beliau tebar kerap membuatku terharu dan bangga sebagai anaknya. Maka, aku sangat setuju dengan Andrea Hirata. “Ayahku Juara Satu seDunia”. Setelah Bapak tutup usia, seorang Bapak kurus dengan tulus berterima kasih karena ia merasa seperti berhutang nyawa. “Kalau nggak ada bapakmu, entahlah, mungkin nyawa saya sudah tidak tertolong lagi,” ujarnya. Juga suatu sore, saat itu aku menumpang angkutan umum. Sopir bus menanyakan tempat tinggalku. Dia langsung bilang, ia punya seorang kenalan. “Orangnya sangat baik dek. Suka menolong orang. Saya termasuk yang ditolong. Rumahmu dekat dengan rumah beliau?”
Kerap aku berpikir apakah keberadaanku bisa seperti Bapak, menjadi matahari, inspirasi, dan memberi manfaat bagi orang lain dan sekitar. Ia orang kecil yang mempunyai dunia luas. Kerap ‘putus asa’ menghampiriku kala berusaha meniru kebaikan Bapak. Kaki-kaki ikhlas sering berlari menjauh saat aku menabur satu benih kebaikan. Kenapa tiba-tiba lengan pamrih malah erat memelukku? Juga kepala egois yang tegak saat ada orang lain memerlukan pertolongan. Rabbi, sepertinya hamba masih jauh dari perilaku Bapak yang memancarkan ketulusan.
Aku juga kerap bertanya pada diri sendiri, apakah jika aku meninggalkan alam fana ini orang-orang akan merasa lega dan tertawa karena keberadaanku hanya menyusahkan orang lain atau menjadi duka bagi mereka karena hilangnya seorang anak manusia.
Postingan kawan lama di facebook tentang jejak kebaikan dan amplop surat dari seorang teman seakan embun pagi yang menyegarkan hari dan juga menjadi pesan untuk setia pada kebaikan dan Sang Maha Baik.
Bukankah jika kita menapak tilas dari wejangan nabi, sebaik-baik kita adalah orang yang bermanfaat bagi orang banyak. Ayo kita berlomba menanam kebaikan di ladang kehidupan.

www.jendelasastra.com/susansutardjo

Sabtu, 13 November 2010

MNS

(Mid Night Sale)

MNS
(Mid Night Sale)

Setengah halaman bertaburan bujukan
Merayu datang memborong barang
Diskon up to 70 persen, katamu
Menari-nari fesyen elok harga kaki lima di kepalaku

Aku ambil yang ini
Aku mau yang itu ach
Yang ini unik
Yang itu lucu juga

Lapar mata
Menguras uang
Menabung sesal

Embun Kebaikan

Kamis pagi (11/11) aku dikejutkan dengan postingan di wall dari seorang teman lama, kawan semasa kuliah di Universitas Indonesia. Selain satu jurusan, kami kerap satu organisasi. Secara garis besar tulisannya sebagai berikut: “Mengenang Susan adalah orang baik yang sering membantu aku. Ia sabar menjelaskan mata kuliah sebelum kuliah dimulai dan sering kurepotkan.”
Kalimat itu membuatku terharu. Aku sendiri sudah lupa, kalau aku sering membantu dia. Nah, yang lebih membuatku luruh adalah komentar teman lain. “Ya, Susan bukan hanya baik, tetapi terlalu baik. Gue sering minta tolong sama dia. Anehnya dia nggak pernah minta tolong sama gue.”
Tak terasa butiran bening mengalir dari mataku. Ada rasa kelegaan ternyata jejakku sebuah kebaikan di mata teman-teman. Kerap aku berpikir apakah keberadaanku memberi manfaat bagi orang lain. Apakah jika aku meninggalkan alam fana ini orang-orang akan merasa lega dan tertawa karena keberadaanku hanya menyusahkan orang lain atau menjadi duka bagi mereka karena hilangnya seorang anak manusia.
Seminggu sebelumnya, aku juga menerima sebuah amplop putih dari seorang teman. Aku bingung, kenapa dia mengirim surat untukku. Ternyata isinya berupa ucapan terima kasih atas kepedulianku kepada keluarganya. Ada sentuhan damai menyapa hatiku kala membaca tulisan tangan itu.
Postingan kawan lama di facebook tentang jejak kebaikan dan amplop surat dari seorang teman seakan embun pagi yang menyegarkan hari-hariku untuk selalu berbuat baik bagi sesama.
Bukankah jika kita menapak tilas dari wejangan nabi, sebaik-baik kita adalah orang yang bermanfaat bagi orang banyak. Ayo kita berlomba menanam kebaikan di ladang kehidupan.

Selasa, 09 November 2010

Rezeki Allah Itu Luas

Selasa siang (9 Nov) aku kedatangan tamu istimewa. Mantan cleaning service (CS) di kantor. Tubuhnya memang terlihat lebih kurus dalam balutan jaket. Terakhir ketemu CS ini ia menganggur. Ceritanya, ia keluar kantorku karena memperoleh pekerjaan baru sebagai kurir yang berlokasi di Halim, Jakarta Timur.
Sepintas, pekerjaan baru itu lumayan menggiurkan. “Gajinya lebih besar di sana mbak,” kata CS itu berseri-seri saat pamitan. Aku lega ia memperoleh pekerjaan lebih baik. Terlebih istrinya kala itu baru saja melahirkan.
Sekitar dua bulan kemudian, CS itu datang lagi. Aku tanya, kenapa tidak bekerja di Halim lagi. Ia bilang, ternyata gajinya habis untuk membeli bahan bakar. “Masak untuk mengantarkan barang harus menggunakan sepeda motor dan bensin dari kantong sendiri,” keluhnya. Akhirnya, tak perlu menunggu lama, ia mantap keluar.
Ia sebenarnya tahu, pilihan keluar bukan jalan terbaik. Karena, ia sangat membutuhkan uang untuk membiayai keluarganya. Untuk menambal kebutuhan keluarga, CS ini mengajar mengaji di sebuah mesjid di Tebet, Jakarta Selatan. “Alhamdulillah, masih mendapat rezeki dari orang tua murid ngaji,” ujarnya.
Meski demikian, keuangan keluarga CS ini kian limbung. Selama dua bulan ia hanya mengandalkan honor tiris sebagai guru mengaji. Beruntungnya ada panggilan kerja sebagai security seorang pengusaha di Kemang. Namun, banyak pergolakan batin ia alami ketika bekerja di sini. “Saya sering bertanya, sumber uang ini haram atau halal,” terangnya menjelaskan asal uang majikannya yang menurutnya menyalahi norma.
Dalam kebimbangan itu, ia memutuskan keluar. Ia kemudian melamar di sebuah perusahaan yang menangani mantainance gedung di kawasan Jakarta Selatan. “Alhamdulillah, pekerjaan saya sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya,” kata CS ini tersenyum. Dalam sebulan ia mengantongi gaji sekitar Rp 1,7 juta dipotong iuran jamsostek dan asuransi. Jam kerjanya juga terbilang lengang.
Ia bersyukur Allah memberinya pekerjaan terbaik, jauh melebihi posisinya sebagai office boy. “Meskipun taruhannya nyawa, saya tidak apa-apa. Yang penting anak saya bisa makan dan halal,” ujar lelaki betawi ini.
Menyimak perjalanan CS, aku seperti ditampar. Ternyata rezeki itu tersebar di banyak tempat. Aku seperti mengalami kebimbangan, bingung, ketika memutuskan untuk resign. Munculnya pemikiran ini bukan tanpa sebab. Sudah banyak hal aku lakukan dalam mengisi masa transisi ini. Tetapi, semua pintu sepertinya tertutup. Aku laiknya menghadapi dinding tebal. Rabbi, hamba percaya, Engkau Maha Kaya. Dan Engkau akan member rezeki terbaik bagi makhluk-Mu.

Minggu, 07 November 2010

Mencari Cahaya Pasca Bencana

Kesedihan, kehilangan, kekecewaan, dan trauma adalah kata-kata yang melekat ketika bencana melanda. Secercah cahaya sangat diperlukan agar korban sembuh dan bisa melanjutkan hidup kembali pasca bencana.

Tangis Ismail lirih menyayat di antara puing reruntuhan material. Kepedihan nyata mencuat di wajah lelaki paruh baya itu. Dua anaknya dan istrinya menjadi korban amuk tsunami di kampungnya, Pagai Selatan, Mentawai, Sumatera Barat. Ia tak pernah menyangka, kebersamaan keluarganya akan berakhir di ganasnya air.
Duka juga dirasakan seorang ibu di Sumatera Barat. Acapkali air bening mengalir dari dua matanya. Bahkan, tangis keras terdengar kala nama anaknya, Angga, salah satu korban gempa di Padang, 30 September 2009 disebut salah satu presenter TV berita. Angga, anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar di Padang, menjadi salah satu korban meninggal saat gempa menggoyang bumi Minang. Meski setahun berlalu, duka ibu Angga masih terasa. “Saya masih sedih kalau masuk ke kamarnya,” ujar wanita berkulit bersih itu pilu.
Bencana alam tidak bisa diperkirakan kapan pastinya datang. Meskipun peradaban manusia telah menghasilkan teknologi yang bisa mendeteksi gejala alam penyebab malapetaka. Seperti diungkapkan Prof Hery Harjono Peneliti Bidang Kebumian LIPI kepada wartawan stasiun TV swasta beberapa waktu lalu. “Ilmuwan bisa menjelaskan fenomena alam setelah terjadi bencana, juga bisa membuat prediksi tetapi tidak bisa memastikan. Ada deviasi antara prediksi dengan kejadian,” ujarnya.
Dengan adanya ketidakpastian datangnya bencana, masyarakat harus memiliki kewaspadaan dan ilmu tentang bencana alam. Selain persiapan material, juga diperlukan kesiapan mental dan strategi yang harus dilakukan ketika musibah terjadi. Sosialisasi tentang penyelamatan diri kala gempa, banjir, gunung meletus, tanah longsor, tsunami, dll harus dilakukan mulai dari bangku sekolah dasar. Juga penyuluhan kepada warga masyarakat dari rukun tetangga hingga kelurahan.
Menurut Sciense For a Changing World Indonesia termasuk negara rawan bencana. Hal ini dikarenakan negara kita terletak di cincin api pasifik dengan 452 gunung berapi dan terjepit tiga lempeng yakni Eurasia, Pasifik, Hindia Australia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu lahan subur gempa, bencana gunung meletus, dan tsunami. Melihat kondisi geografis dan geologis Indonesia, sudah menjadi keharusan kita semua melek bencana.
Meski demikian, tetap diperlukan langkah-langkah progress dalam menangani bencana terkait traumatik korban, kelanjutan hidup korban dari sisi psikologis dan ekonomi, serta pemulihan daerah bencana.
Penyembuhan Trauma
Kehilangan harta benda atau menurunnya kondisi ekonomi menjadi salah satu kerugian yang diakibatkan bencana alam. Selain hilangnya orang terdekat dan keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan, dan cacat fisik. Sehingga wajar jika bencana alam menorehkan kenangan pahit dalam memori korban atau menimbulkan trauma dan pasca trauma. Dalam tinjauan psikologi kondisi pasca trauma disebut post traumatic stress disorder (PTSD) atau gejala stress pasca trauma.
Menurut para pakar psikolog, PTSD merupakan gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa tragis atau luar biasa. Orang ybs menjadi sangat terpukul, marah, kecewa, meratapi nasib, sangat sedih, cemas, gelisah, sulit tidur, takut berlebihan, waspada berlebihan, menarik diri, sulit konsentrasi, tidak percaya apa yang dialaminya, merasa tidak berdaya, bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan, kehilangan jati diri dsb.
Gangguan psikologis ini menyebabkan kondisi kehidupan korban sangat kritis, tidak nyaman dan rentan terhadap berbagai bentuk gangguan kesehatan fisik dan kejiwaan. Sebagian orang yang tidak kuat mentalnya akan mengalami stress, depresi, bahkan sakit jiwa.
Malangnya, gangguan ini bisa menetap lama pada diri korban hingga 30 tahun bahkan sampai seumur hidup. Sehingga diperlukan penanganan secara tepat antara lain dengan psikoterapi. Masyarakat diajak menerima kondisi realita yang ada, membantu dirinya sendiri menyembuhkan traumanya, dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Aspek religiusitas menurut sebagian kalangan dinilai efektif membantu penyembuhan trauma korban bencana alam. Pasalnya, ketika agama seseorang kuat, ia akan menerima musibah dan menganggap itu sebagai cobaan. Ia juga akan mencari hikmah atau pelajaran dari musibah yang menimpanya. Setelah itu, korban akan berusaha bangkit, mengumpulkan energinya untuk kembali menata hidupnya.
Penanganan Anak
Selain orang dewasa, anak-anak kerap menjadi korban bencana yang terabaikan. “Anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam harus disembuhkan dari traumanya secara permanen. Penyembuhan trauma pada anak-anak tidak boleh bersifat sementara atau hanya memberikan hiburan sesaat,” kata Ketua I Komisi Perlindungan Anak Indonesia Masnah Sari seperti dikutip di harian Kompas. Anak-anak pasti mengalami trauma melihat rumah dan tempat bermainnya hancur, imbuhnya.
Misran ,Koordinator Unit Pusat Kajian Perlindungan Anak, seperti dikutip dari laman Starberita.com mengungkapkan trauma dan kesehatan anak kurang mendapat perhatian, dan sering tidak tepat dalam penanganannya. Dalam kondisi darurat, anak anak juga sering mengalami eksploitasi ekonomi, keterpisahan dan kehilangan tempat aman, imbuhnya.
Tingkat ketergantungan anak-anak yang tinggi terhadap orang dewasa membuat mereka berada di bawah ancaman dan sangat beresiko ketika orang tua dan keluarga menjadi korban meninggal. Sayangnya, kata Misran, Indonesia belum memiliki sistem penanganan bencana komprehensif dan kebijakan khusus menangani anak-anak dalam situasi tanggap darurat. “Institusi seperti sekolah, panti asuhan, organisasi keagamaan lembaga adat perlu diperkuat kapasitasnya untuk merespon cepat menangani anak-anak ketika bencana terjadi,” ujarnya.
Trauma anak, kata Masnah, bisa disembuhkan dengan menitipkan anak-anak ke sekolah yang tidak mengalami bencana. “Anak-anak itu dikumpulkan di satu tempat khusus dan diberi proses belajar mengajar yang khusus,” terangnya. Dosen psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Wiwik dalam seminar penanggulangan bencana yang juga menghadirkan Misran mengatakan perlunya deteksi dini sebelum memutuskan langkah terapi yang akan dimbil. "Kita harus mengetahui riwayat anak sebelum dan setelah bencana, tanda-tanda perubahan psikologi secara umum dapat dikenali sejak dini.”
Melanjutkan Hidup
Rachman, salah satu korban selamat gempa Padang, Sepetmber tahun lalu, kini harus hidup dengan satu kakinya. Padahal, kaki menjadi bagian vital yang mendukung aktivitas kerjanya sebagai tukang bangunan. Meski kakinya harus ia amputasi sendiri dengan gergaji, pemuda berdarah Sunda itu mengaku bersyukur bisa selamat dari amukan gempa. Ia kini mulai menata masa depannya. “Saya berharap ada dermawan yang mau menyumbang kaki palsu untuk saya,” harap Rachman.
Sarifah Cut, perempuan paruh baya yang tinggal di Aceh Barat juga menjadi saksi hidup atas kedahsyatan tsunami yang melanda serambi mekah pada Desember 2004. Bukan hanya harta benda yang hilang, salah satu jarinya putus terkena benda tajam saat ia berusaha menyelamatkan diri. Usai tsunami, perempuan yang aktif menggerakkan perempuan desa untuk berkoperasi ini mulai menata hidupnya. Termasuk menghidupkan kembali koperasi wanita yang dibentuknya. Meski, aset dan sebagian besar anggota koperasi hilang disapu tsunami. “Saya memulai semuanya dari nol lagi,” ujarnya saat ditemui dalam sebuah pameran KUKM di Gedung Smesco Promotion Center, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bangkit pasca mengalami kejadian pahit dalam hidup seperti musibah bencana alam tidaklah mudah. Dibutuhkan refleksi yang akan menjadi bahan evaluasi dan guidance seseorang maju ke depan. Sayangnya, tidak semua orang bisa melakukan refleksi yang sangat membantu dalam memetakan kekuatan dan kelemahan serta strategi bertahan hidup dan enjalaninya dengan lebih baik.
Diperlukan dua syarat seseorang bisa bangkit kembali menata masa depan, yakni kemauan berjuang untuk hidup dan kemauan bangkit mengatasi masalah dan membangun kembali hidup dan daerahnya yang porak poranda. Selain itu, dalam konteks masyarakat, diperlukan daya gotong royong untuk menata kembali keluarga dan wilayah.
Pemulihan hidup korban sangat tergantung pada kualitas yang bersangkutan. Sehingga, kualitas manusia menjadi aspek penting dalam menata kembali hidup masyarakat korban bencana alam. Peningkatan kualitas manusia, bukan berpusar pada kecerdasan pribadi. Tetapi juga adanya perlindungan, jaminan rasa aman, dan kesejahteraan dari pemerintah setempat.
Ya, peran pemerintah, lembaga sosial, dan empati masyarakat yang tidak menjadi korban sangat diperlukan. Pemerintah harus memiliki kebijakan, lembaga, dan aparat yang sigap mendukung pemulihan korban dan wilayah bencana. Juga fasilitator lembaga sosial yang diharapkan membantu memulihkan gangguan mental masyarakat. Para fasilitator sedianya memberikan perhatian dengan mendengar keluhan, mendampingi mereka mencari solusi atas permasalahan yang ada. Selain itu, fasilitator juga mengarahkan masyarakat dalam membangun kembali daerah dan lingkungan sosial. Mari bersama membantu saudara kita yang tengah ditimpa bencana. Duka mereka duka kita juga.

By:Susan Sutardjo