Selasa, 18 Mei 2010

Gila Manusia Aku Insomnia

Awal 2010 kehidupanku dijejali dengan beragam peristiwa yang membuatku menjadi benar-benar manusia. Baru saja melangkah ke tahun macan, sudah banyak kerikil tajam yang terhampar. Bermula sebuah hal penting di pertengahan 2009. Namun berakhir kekecewaan yang harus dipendam. Meski, masih bersyukur ada kompensasi lain sebagai sebuah hiburan. Yach, anggap saja itu hiburan. Mirip anak kecil yang rewel lalu dikasih permen agar ia terdiam. Lalu balik menangis lagi.
Malangnya, kompensasi hiburan itu pun akhirnya dirampas oleh seorang kawan yang selama ini sudah kuanggap sebagai saudara. Ia merampas mainan kesayanganku yang kuperoleh dengan segenap perjuanganku. Bahkan dengan aliran air mata. Tragedi kelam itu terjadi Maret 2010. Paranoid dan kehausan akan kekuasaan telah mengantarkan teman dekatku menjadi malaikat pencabut nyawa.
Padahal, ia tahu bahwa aku tak minat pada kursi itu. Aku tak tertarik duduk lama di gedung itu. Sebuah bangunan yang menyisakan banyak kenangan muram di memoriku. Gedung yang kerap mengungku karena banyak tanda tanya di sana. Juga beragam topeng manusia yang menyeramkan di belakangnya. Sejak awal aku di sana, sudah tertanam kebencian itu terhadapku. Ah, kadang aku bertanya,”Apa yang mereka iri dariku?”
Kalau ingin kompetensinya sama dengan aku, kenapa tidak mengembangkan diri? Untuk urusan nasib, jika kondisi finansialku lumayan, itu toch sudah kehendak Tuhan. Apakah aku harus miskin demi memuaskan hati mereka? Apakah aku harus menghilangkan embel-embel sarjana agar setara?
Serangan itu kian membrutal kala si penembak adalah seorang teman. Entah alasan apa ia bersekutu dengan gerombolan emak-emak yang sedari dulu memborbardirku dengan fitnah, pembunuhan karakter di depan atasan, dan tudingan miring yang jauh dari kebenaran. Dan semuanya berakhir pada lahirnya regulasi baru. Berkehendak aku diborgol, nyatanya yang tertawan seorang kawan. Tak tega melihat kawan terkena hukuman, majulah aku bak seorang pahlawan kesiangan.
Dua tahun berlalu. Peristiwa serupa terulang lagi. Ya, gara-gara sebuah kursi panas. Aku tahu, bagaimana khawatirnya temanku itu jika kursi itu tiba-tiba menghilang seiring pensiunnya atasan. Bahkan ia menuding sang atasan tidak akan rela melihat kantornya tetap ada kala ia telah purna. Jahat banget pemikirannya.
Aku nyaris muntah melihat ia bermuka manis kepada sang atasan menjelang waktu pensiunnya. Namun, kekhawatiran tidak beroleh kursi tertinggi sepertinya terus menghantui. Maka, dilakukanlah tindakan itu. Mencoret namaku! Itu gila. Dia ingin menghapus satu nama yang dengan terang benderang dikatakan oleh atasan, nama itu berpeluang menggantikannya. Dan peluangnya sama dengan dia.
Seperti ribuan anak panah dan ujung pisau menuju dada. Sesak. Robek. Darah. Luka. Ya, ia menganga. Mengalir air mata. Dan berujung insomnia. Sebuah realita yang hingga kini aku pun tak percaya. Seorang kawan dekat yang berubah manusia gila tega menusukkan belatinya hingga jiwa merana.
Belum juga luka itu mongering, goresan baru muncul. Datangnya kawan lama yang lebih mirip seorang psikopat. Mengusik kedamaian yang ada. Mencoba memancing berharap ikan didapat. Tak tahan dengan ulah ularnya, kusambangi dia. Aku tak rela dia menjadi benalu. Belum juga reda, muncul sengatan dari orang gila. Mengumpat dengan kata-kata jorok yang entah ia beli di terminal mana. Dan berakhir dengan tusukan tetangga demi sebuah tiket masuk ke sebuah geng baru. Tuhan Maha Besar, kuatkan aku menghadapi ini semua menjadi pelajaran hidup berharga. “Meski berusaha selalu membersihkan badan, acapkali kita terkena cipratan comberan. Kendati sudah berusaha menjaga diri dari perkataan dan perbuatan cela, bukan berarti fitnah, tudingan, hinaan, celaan dan ejekan akan lari dari hidup kita. Perbuatan baik bukan sebuah garansi hidup akan selalu landai. Acapkali gelombang besar datang menghantam dari orang sekitar.