Minggu, 14 November 2010

Embun Kebaikan

(Bapakku Juara Satu Sedunia-Andrea Hirata)
Kamis pagi (11/11) aku dikejutkan dengan postingan di wall dari seorang teman lama, kawan semasa kuliah di Universitas Indonesia. Selain satu jurusan, kami kerap satu organisasi. Secara garis besar tulisannya sebagai berikut: “Mengenang Susan adalah orang baik yang selalu membantu aku. Ia sabar menjelaskan mata kuliah sebelum kuliah dimulai dan sering kurepotkan.”
Kalimat itu membuatku terharu. Aku sendiri sudah lupa, kalau aku kerap membantu dia. Nah, yang lebih membuatku luruh adalah komentar teman lain. “Ya, Susan bukan hanya baik, baik banget malah. Gue sering minta tolong sama dia. Anehnya dia nggak pernah minta tolong sama gue.”
Tak terasa butiran bening mengalir dari mataku. Ada rasa kelegaan ternyata jejakku sebuah kebaikan di mata teman-teman. Seminggu sebelumnya, sebuah amplop putih dari seorang teman mendarat di meja kerjaku. Aku bingung, kenapa dia mengirim surat untukku. Ternyata, isinya berupa ucapan terima kasih atas kepedulianku kepada keluarganya. Ada sentuhan damai menyapa hatiku kala membaca tulisan tangan itu.
Sejak kecil, lazimnya anak, aku mengamati perbuatan almarhum bapak dan ibu. Hal-hal baik yang mereka lakukan berusaha aku terapkan. Tiap pagi, aku melihat ibu rutin menggelar sholat dhuha selain tahajud dan hajad yang tak putus beliau lakukan. Untuk yang dua terakhir, aku masih bolong-bolong mengerjakannya.
Dari almarhum Bapak, seorang lelaki sederhana, tak punya pangkat, bukan pegawai apalagi pejabat, hanya rakyat kecil yang berusaha membahagiakan keluarganya, aku seperti menemukan mata air kehidupan. Ia seorang yang bijak, generous. Masih lekat di ingatanku, kala beliau sakit menjelang akhir hidupnya, Bapak masih sempat-sempatnya menanyakan keadaan keuangan salah seorang tetanggaku yang sedang mengalami kondisi sulit.
Semasa hidup Bapak sepertinya punya ‘hobby’ menolong sesama. Dari anak-anak gunung yang biasa beliau beri permen saat pulang kerja, mengantarkan tetangga sakit, memberi pinjaman kepada tetangga yang kesusahan, bahkan PNS dan polisi yang biasa mangkal di bengkel sederhananya juga tak luput dari bantuannya. Bapak juga kerap mengantarkan orang-orang gunung yang terlantar (dulu belum ada angkutan), memberi donasi untuk kepentingan desa, dan masih banyak lagi.
Banyaknya kebaikan yang beliau tebar kerap membuatku terharu dan bangga sebagai anaknya. Maka, aku sangat setuju dengan Andrea Hirata. “Ayahku Juara Satu seDunia”. Setelah Bapak tutup usia, seorang Bapak kurus dengan tulus berterima kasih karena ia merasa seperti berhutang nyawa. “Kalau nggak ada bapakmu, entahlah, mungkin nyawa saya sudah tidak tertolong lagi,” ujarnya. Juga suatu sore, saat itu aku menumpang angkutan umum. Sopir bus menanyakan tempat tinggalku. Dia langsung bilang, ia punya seorang kenalan. “Orangnya sangat baik dek. Suka menolong orang. Saya termasuk yang ditolong. Rumahmu dekat dengan rumah beliau?”
Kerap aku berpikir apakah keberadaanku bisa seperti Bapak, menjadi matahari, inspirasi, dan memberi manfaat bagi orang lain dan sekitar. Ia orang kecil yang mempunyai dunia luas. Kerap ‘putus asa’ menghampiriku kala berusaha meniru kebaikan Bapak. Kaki-kaki ikhlas sering berlari menjauh saat aku menabur satu benih kebaikan. Kenapa tiba-tiba lengan pamrih malah erat memelukku? Juga kepala egois yang tegak saat ada orang lain memerlukan pertolongan. Rabbi, sepertinya hamba masih jauh dari perilaku Bapak yang memancarkan ketulusan.
Aku juga kerap bertanya pada diri sendiri, apakah jika aku meninggalkan alam fana ini orang-orang akan merasa lega dan tertawa karena keberadaanku hanya menyusahkan orang lain atau menjadi duka bagi mereka karena hilangnya seorang anak manusia.
Postingan kawan lama di facebook tentang jejak kebaikan dan amplop surat dari seorang teman seakan embun pagi yang menyegarkan hari dan juga menjadi pesan untuk setia pada kebaikan dan Sang Maha Baik.
Bukankah jika kita menapak tilas dari wejangan nabi, sebaik-baik kita adalah orang yang bermanfaat bagi orang banyak. Ayo kita berlomba menanam kebaikan di ladang kehidupan.

www.jendelasastra.com/susansutardjo

Sabtu, 13 November 2010

MNS

(Mid Night Sale)

MNS
(Mid Night Sale)

Setengah halaman bertaburan bujukan
Merayu datang memborong barang
Diskon up to 70 persen, katamu
Menari-nari fesyen elok harga kaki lima di kepalaku

Aku ambil yang ini
Aku mau yang itu ach
Yang ini unik
Yang itu lucu juga

Lapar mata
Menguras uang
Menabung sesal

Embun Kebaikan

Kamis pagi (11/11) aku dikejutkan dengan postingan di wall dari seorang teman lama, kawan semasa kuliah di Universitas Indonesia. Selain satu jurusan, kami kerap satu organisasi. Secara garis besar tulisannya sebagai berikut: “Mengenang Susan adalah orang baik yang sering membantu aku. Ia sabar menjelaskan mata kuliah sebelum kuliah dimulai dan sering kurepotkan.”
Kalimat itu membuatku terharu. Aku sendiri sudah lupa, kalau aku sering membantu dia. Nah, yang lebih membuatku luruh adalah komentar teman lain. “Ya, Susan bukan hanya baik, tetapi terlalu baik. Gue sering minta tolong sama dia. Anehnya dia nggak pernah minta tolong sama gue.”
Tak terasa butiran bening mengalir dari mataku. Ada rasa kelegaan ternyata jejakku sebuah kebaikan di mata teman-teman. Kerap aku berpikir apakah keberadaanku memberi manfaat bagi orang lain. Apakah jika aku meninggalkan alam fana ini orang-orang akan merasa lega dan tertawa karena keberadaanku hanya menyusahkan orang lain atau menjadi duka bagi mereka karena hilangnya seorang anak manusia.
Seminggu sebelumnya, aku juga menerima sebuah amplop putih dari seorang teman. Aku bingung, kenapa dia mengirim surat untukku. Ternyata isinya berupa ucapan terima kasih atas kepedulianku kepada keluarganya. Ada sentuhan damai menyapa hatiku kala membaca tulisan tangan itu.
Postingan kawan lama di facebook tentang jejak kebaikan dan amplop surat dari seorang teman seakan embun pagi yang menyegarkan hari-hariku untuk selalu berbuat baik bagi sesama.
Bukankah jika kita menapak tilas dari wejangan nabi, sebaik-baik kita adalah orang yang bermanfaat bagi orang banyak. Ayo kita berlomba menanam kebaikan di ladang kehidupan.

Selasa, 09 November 2010

Rezeki Allah Itu Luas

Selasa siang (9 Nov) aku kedatangan tamu istimewa. Mantan cleaning service (CS) di kantor. Tubuhnya memang terlihat lebih kurus dalam balutan jaket. Terakhir ketemu CS ini ia menganggur. Ceritanya, ia keluar kantorku karena memperoleh pekerjaan baru sebagai kurir yang berlokasi di Halim, Jakarta Timur.
Sepintas, pekerjaan baru itu lumayan menggiurkan. “Gajinya lebih besar di sana mbak,” kata CS itu berseri-seri saat pamitan. Aku lega ia memperoleh pekerjaan lebih baik. Terlebih istrinya kala itu baru saja melahirkan.
Sekitar dua bulan kemudian, CS itu datang lagi. Aku tanya, kenapa tidak bekerja di Halim lagi. Ia bilang, ternyata gajinya habis untuk membeli bahan bakar. “Masak untuk mengantarkan barang harus menggunakan sepeda motor dan bensin dari kantong sendiri,” keluhnya. Akhirnya, tak perlu menunggu lama, ia mantap keluar.
Ia sebenarnya tahu, pilihan keluar bukan jalan terbaik. Karena, ia sangat membutuhkan uang untuk membiayai keluarganya. Untuk menambal kebutuhan keluarga, CS ini mengajar mengaji di sebuah mesjid di Tebet, Jakarta Selatan. “Alhamdulillah, masih mendapat rezeki dari orang tua murid ngaji,” ujarnya.
Meski demikian, keuangan keluarga CS ini kian limbung. Selama dua bulan ia hanya mengandalkan honor tiris sebagai guru mengaji. Beruntungnya ada panggilan kerja sebagai security seorang pengusaha di Kemang. Namun, banyak pergolakan batin ia alami ketika bekerja di sini. “Saya sering bertanya, sumber uang ini haram atau halal,” terangnya menjelaskan asal uang majikannya yang menurutnya menyalahi norma.
Dalam kebimbangan itu, ia memutuskan keluar. Ia kemudian melamar di sebuah perusahaan yang menangani mantainance gedung di kawasan Jakarta Selatan. “Alhamdulillah, pekerjaan saya sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya,” kata CS ini tersenyum. Dalam sebulan ia mengantongi gaji sekitar Rp 1,7 juta dipotong iuran jamsostek dan asuransi. Jam kerjanya juga terbilang lengang.
Ia bersyukur Allah memberinya pekerjaan terbaik, jauh melebihi posisinya sebagai office boy. “Meskipun taruhannya nyawa, saya tidak apa-apa. Yang penting anak saya bisa makan dan halal,” ujar lelaki betawi ini.
Menyimak perjalanan CS, aku seperti ditampar. Ternyata rezeki itu tersebar di banyak tempat. Aku seperti mengalami kebimbangan, bingung, ketika memutuskan untuk resign. Munculnya pemikiran ini bukan tanpa sebab. Sudah banyak hal aku lakukan dalam mengisi masa transisi ini. Tetapi, semua pintu sepertinya tertutup. Aku laiknya menghadapi dinding tebal. Rabbi, hamba percaya, Engkau Maha Kaya. Dan Engkau akan member rezeki terbaik bagi makhluk-Mu.

Minggu, 07 November 2010

Mencari Cahaya Pasca Bencana

Kesedihan, kehilangan, kekecewaan, dan trauma adalah kata-kata yang melekat ketika bencana melanda. Secercah cahaya sangat diperlukan agar korban sembuh dan bisa melanjutkan hidup kembali pasca bencana.

Tangis Ismail lirih menyayat di antara puing reruntuhan material. Kepedihan nyata mencuat di wajah lelaki paruh baya itu. Dua anaknya dan istrinya menjadi korban amuk tsunami di kampungnya, Pagai Selatan, Mentawai, Sumatera Barat. Ia tak pernah menyangka, kebersamaan keluarganya akan berakhir di ganasnya air.
Duka juga dirasakan seorang ibu di Sumatera Barat. Acapkali air bening mengalir dari dua matanya. Bahkan, tangis keras terdengar kala nama anaknya, Angga, salah satu korban gempa di Padang, 30 September 2009 disebut salah satu presenter TV berita. Angga, anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar di Padang, menjadi salah satu korban meninggal saat gempa menggoyang bumi Minang. Meski setahun berlalu, duka ibu Angga masih terasa. “Saya masih sedih kalau masuk ke kamarnya,” ujar wanita berkulit bersih itu pilu.
Bencana alam tidak bisa diperkirakan kapan pastinya datang. Meskipun peradaban manusia telah menghasilkan teknologi yang bisa mendeteksi gejala alam penyebab malapetaka. Seperti diungkapkan Prof Hery Harjono Peneliti Bidang Kebumian LIPI kepada wartawan stasiun TV swasta beberapa waktu lalu. “Ilmuwan bisa menjelaskan fenomena alam setelah terjadi bencana, juga bisa membuat prediksi tetapi tidak bisa memastikan. Ada deviasi antara prediksi dengan kejadian,” ujarnya.
Dengan adanya ketidakpastian datangnya bencana, masyarakat harus memiliki kewaspadaan dan ilmu tentang bencana alam. Selain persiapan material, juga diperlukan kesiapan mental dan strategi yang harus dilakukan ketika musibah terjadi. Sosialisasi tentang penyelamatan diri kala gempa, banjir, gunung meletus, tanah longsor, tsunami, dll harus dilakukan mulai dari bangku sekolah dasar. Juga penyuluhan kepada warga masyarakat dari rukun tetangga hingga kelurahan.
Menurut Sciense For a Changing World Indonesia termasuk negara rawan bencana. Hal ini dikarenakan negara kita terletak di cincin api pasifik dengan 452 gunung berapi dan terjepit tiga lempeng yakni Eurasia, Pasifik, Hindia Australia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu lahan subur gempa, bencana gunung meletus, dan tsunami. Melihat kondisi geografis dan geologis Indonesia, sudah menjadi keharusan kita semua melek bencana.
Meski demikian, tetap diperlukan langkah-langkah progress dalam menangani bencana terkait traumatik korban, kelanjutan hidup korban dari sisi psikologis dan ekonomi, serta pemulihan daerah bencana.
Penyembuhan Trauma
Kehilangan harta benda atau menurunnya kondisi ekonomi menjadi salah satu kerugian yang diakibatkan bencana alam. Selain hilangnya orang terdekat dan keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan, dan cacat fisik. Sehingga wajar jika bencana alam menorehkan kenangan pahit dalam memori korban atau menimbulkan trauma dan pasca trauma. Dalam tinjauan psikologi kondisi pasca trauma disebut post traumatic stress disorder (PTSD) atau gejala stress pasca trauma.
Menurut para pakar psikolog, PTSD merupakan gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa tragis atau luar biasa. Orang ybs menjadi sangat terpukul, marah, kecewa, meratapi nasib, sangat sedih, cemas, gelisah, sulit tidur, takut berlebihan, waspada berlebihan, menarik diri, sulit konsentrasi, tidak percaya apa yang dialaminya, merasa tidak berdaya, bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan, kehilangan jati diri dsb.
Gangguan psikologis ini menyebabkan kondisi kehidupan korban sangat kritis, tidak nyaman dan rentan terhadap berbagai bentuk gangguan kesehatan fisik dan kejiwaan. Sebagian orang yang tidak kuat mentalnya akan mengalami stress, depresi, bahkan sakit jiwa.
Malangnya, gangguan ini bisa menetap lama pada diri korban hingga 30 tahun bahkan sampai seumur hidup. Sehingga diperlukan penanganan secara tepat antara lain dengan psikoterapi. Masyarakat diajak menerima kondisi realita yang ada, membantu dirinya sendiri menyembuhkan traumanya, dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Aspek religiusitas menurut sebagian kalangan dinilai efektif membantu penyembuhan trauma korban bencana alam. Pasalnya, ketika agama seseorang kuat, ia akan menerima musibah dan menganggap itu sebagai cobaan. Ia juga akan mencari hikmah atau pelajaran dari musibah yang menimpanya. Setelah itu, korban akan berusaha bangkit, mengumpulkan energinya untuk kembali menata hidupnya.
Penanganan Anak
Selain orang dewasa, anak-anak kerap menjadi korban bencana yang terabaikan. “Anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam harus disembuhkan dari traumanya secara permanen. Penyembuhan trauma pada anak-anak tidak boleh bersifat sementara atau hanya memberikan hiburan sesaat,” kata Ketua I Komisi Perlindungan Anak Indonesia Masnah Sari seperti dikutip di harian Kompas. Anak-anak pasti mengalami trauma melihat rumah dan tempat bermainnya hancur, imbuhnya.
Misran ,Koordinator Unit Pusat Kajian Perlindungan Anak, seperti dikutip dari laman Starberita.com mengungkapkan trauma dan kesehatan anak kurang mendapat perhatian, dan sering tidak tepat dalam penanganannya. Dalam kondisi darurat, anak anak juga sering mengalami eksploitasi ekonomi, keterpisahan dan kehilangan tempat aman, imbuhnya.
Tingkat ketergantungan anak-anak yang tinggi terhadap orang dewasa membuat mereka berada di bawah ancaman dan sangat beresiko ketika orang tua dan keluarga menjadi korban meninggal. Sayangnya, kata Misran, Indonesia belum memiliki sistem penanganan bencana komprehensif dan kebijakan khusus menangani anak-anak dalam situasi tanggap darurat. “Institusi seperti sekolah, panti asuhan, organisasi keagamaan lembaga adat perlu diperkuat kapasitasnya untuk merespon cepat menangani anak-anak ketika bencana terjadi,” ujarnya.
Trauma anak, kata Masnah, bisa disembuhkan dengan menitipkan anak-anak ke sekolah yang tidak mengalami bencana. “Anak-anak itu dikumpulkan di satu tempat khusus dan diberi proses belajar mengajar yang khusus,” terangnya. Dosen psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Wiwik dalam seminar penanggulangan bencana yang juga menghadirkan Misran mengatakan perlunya deteksi dini sebelum memutuskan langkah terapi yang akan dimbil. "Kita harus mengetahui riwayat anak sebelum dan setelah bencana, tanda-tanda perubahan psikologi secara umum dapat dikenali sejak dini.”
Melanjutkan Hidup
Rachman, salah satu korban selamat gempa Padang, Sepetmber tahun lalu, kini harus hidup dengan satu kakinya. Padahal, kaki menjadi bagian vital yang mendukung aktivitas kerjanya sebagai tukang bangunan. Meski kakinya harus ia amputasi sendiri dengan gergaji, pemuda berdarah Sunda itu mengaku bersyukur bisa selamat dari amukan gempa. Ia kini mulai menata masa depannya. “Saya berharap ada dermawan yang mau menyumbang kaki palsu untuk saya,” harap Rachman.
Sarifah Cut, perempuan paruh baya yang tinggal di Aceh Barat juga menjadi saksi hidup atas kedahsyatan tsunami yang melanda serambi mekah pada Desember 2004. Bukan hanya harta benda yang hilang, salah satu jarinya putus terkena benda tajam saat ia berusaha menyelamatkan diri. Usai tsunami, perempuan yang aktif menggerakkan perempuan desa untuk berkoperasi ini mulai menata hidupnya. Termasuk menghidupkan kembali koperasi wanita yang dibentuknya. Meski, aset dan sebagian besar anggota koperasi hilang disapu tsunami. “Saya memulai semuanya dari nol lagi,” ujarnya saat ditemui dalam sebuah pameran KUKM di Gedung Smesco Promotion Center, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bangkit pasca mengalami kejadian pahit dalam hidup seperti musibah bencana alam tidaklah mudah. Dibutuhkan refleksi yang akan menjadi bahan evaluasi dan guidance seseorang maju ke depan. Sayangnya, tidak semua orang bisa melakukan refleksi yang sangat membantu dalam memetakan kekuatan dan kelemahan serta strategi bertahan hidup dan enjalaninya dengan lebih baik.
Diperlukan dua syarat seseorang bisa bangkit kembali menata masa depan, yakni kemauan berjuang untuk hidup dan kemauan bangkit mengatasi masalah dan membangun kembali hidup dan daerahnya yang porak poranda. Selain itu, dalam konteks masyarakat, diperlukan daya gotong royong untuk menata kembali keluarga dan wilayah.
Pemulihan hidup korban sangat tergantung pada kualitas yang bersangkutan. Sehingga, kualitas manusia menjadi aspek penting dalam menata kembali hidup masyarakat korban bencana alam. Peningkatan kualitas manusia, bukan berpusar pada kecerdasan pribadi. Tetapi juga adanya perlindungan, jaminan rasa aman, dan kesejahteraan dari pemerintah setempat.
Ya, peran pemerintah, lembaga sosial, dan empati masyarakat yang tidak menjadi korban sangat diperlukan. Pemerintah harus memiliki kebijakan, lembaga, dan aparat yang sigap mendukung pemulihan korban dan wilayah bencana. Juga fasilitator lembaga sosial yang diharapkan membantu memulihkan gangguan mental masyarakat. Para fasilitator sedianya memberikan perhatian dengan mendengar keluhan, mendampingi mereka mencari solusi atas permasalahan yang ada. Selain itu, fasilitator juga mengarahkan masyarakat dalam membangun kembali daerah dan lingkungan sosial. Mari bersama membantu saudara kita yang tengah ditimpa bencana. Duka mereka duka kita juga.

By:Susan Sutardjo

Minggu, 10 Oktober 2010

Nasib Ritel Pangan Lokal: Menjadi ‘Tamu’ di Negeri Sendiri

Kondisi ritel pangan lokal saat ini boleh dibilang di ujung tanduk. Selain harus bertahan di tengah serbuan produk impor, makanan warisan leluhur itu juga bertarung dengan perubahan selera lidah masyarakat yang gandrung makanan cepat saji, dan regulasi yang tidak mendukung. Keberpihakan pemerintah, masyarakat, dan stakeholder menjadi kunci penting keberlangsungan ritel pangan lokal.
Kekecewaan terilhat di raut Iwan, asisten manager sebuah perusahaan konsultan di Jakarta kala berlalu dari sebuah rumah makan di kota minyak di Kalimantan. Ia berharap bisa memanjakan lidahnya dengan suguhan masakan lokal. Sayangnya, hingga hari terakhir di kota itu, laki-laki berusia 30 tahunan itu tidak menemukan restoran bermenu lokal. “Rata-rata menu nasional dan junk food,” ujar pria berdarah Jawa yang lahir dan besar di Jakarta ini.
Lain cerita ketika ia ditugaskan di Makassar, Sulawesi Selatan. “Wah, saya puas banget mencoba berbagai makanan di daerah ini. Menu yang tak pernah ketinggalan adalah ikan,” katanya dengan mata berbinar. Sandiaga S. Uno, pengusaha nasional, ketika bertandang ke Semarang bertanya makanan apa yang harus dicoba di kota atlas itu lewat akun facebooknya. Jawaban yang muncul pun bisa ditebak. Mulai dari lumpia, wingko, soto Semarang, sate, ayam bakar, dll.
Setiap bertandang ke suatu daerah, kita akan terkaget-kaget dengan kuliner setempat yang beragam. Meski ada beberapa daerah yang miskin penganan lokal. Kadang kita menjumpai jenis makanan yang sama dengan daerah lain, tapi namanya beda. Misalnya masyarakat Jawa Tengah bagian utara menyebut makanan dari bahan ketan dengan isi kacang di dalamnya dengan nama dumbek. Sementara orang Sunda menamai kue basah itu dengan sebutan bacang.
Uniknya, sesama masyarakat Jawa kerap tidak sama menyebutkan satu jenis nama makanan. Contohnya kue nogosari yang terbuat dari tepung terigu dengan isi pisang. Sebagian masyarakat pesisir Jawa menamainya ciklek.
Kendati kuliner lokal memiliki potensi besar untuk berkembang, keberadaannya kini mulai tergilas oleh makanan cepat saji yang berasal dari luar negeri. Melihat berlimpahnya pangan global baik fast food hingga bahan makanan jadi, menyebabkan makanan lokal kita tidak lagi menjadi tuan rumah, tetapi tamu di negeri sendiri.
Proteksi, Sosialisasi, dan Festival Kuliner
Serbuan pangan global telah merubah selera lidah sebagian masyarakat dari makanan tradisional ke sajian cepat saji atau fast food. Tengoklah ke resto-resto kota besar, sebagian besar menjajakan menu makanan asing. Malangnya, kelangkaan makanan tradisional tidak hanya melanda kampung beton. Di desa-desa pun kini sebagian makanan tradisional kini menghilang. Seperti kue puntir, walang-walang, rondo royal yang sangat sulit ditemui di daerahku, Lasem, Jawa Tengah.
Jika kesadaran masyarakat melestarikan pangan tradisional terus menipis, mungkin 15 tahun lagi generasi sekarang tidak mengenal thiwul, ongol-ongol, gethuk, grontol, carabikang, dll. Minimnya konsumsi pangan tradisional secara langsung juga berpengaruh pada budidaya sumber makanan lokal seperti singkong, ubi, jagung, dll. Jika permintaan jarang, maka petani kita akan enggan menanam.
Dr Murdijati Gardjit, ahli makanan tradisional dari Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) UGM Yogyakarta, di situs Gatra.com mengatakan bahwa penganan tradisional berbahan baku lokal lambat laun terancam punah, karena lemahnya sosialiasi dan proteksi pemerintah. "Dengan banyaknya bermunculan makanan modern atau cepat saji, makanan tradisional terancam punah jika tidak ada proteksi dan dimulai dari dapur kita sendiri," jabarnya. Menjamurnya makanan cepat saji menyebabkan makanan tradisional berbahan baku lokal dilupakan, imbuhnya.
Mulai dari dapur sendiri, artinya setiap keluarga memasak sendiri makanan yang akan disajikan. Karena, kata Murdijati, salah satu faktor penyebab tepuruknya makanan tradisional adalah kebiasaan masyarakat sekarang yang memilih jalan pintas jajan di restoran atau warung makan ketimbang menyalakan api dapurnya sendiri.
.
Selain proteksi, kata Murdijati, perlu dilakukan sosialisasi. Semua elemen baik masyarakat, asosiasi jasa boga dan pemerintah harus ikut aktif mensosialisasikan makanan tradisional berbahan baku lokal, imbuhnya.
Salah satu contoh kegiatan sosialisasi yang bisa dilakukan adalah menyelenggarakan festival kuliner warisan leluhur. Dari lingkup paling kecil seperti RT, RW, kecamatan dan kabupaten menggelar kegiatan ini setahun sekali. Festival diisi dengan pameran makanan tradisional dan lomba memasak. Selain itu juga perlu diadakan lomba memakan bagi remaja dan anak-anak untuk mengenalkan kekayaan kuliner leluhur.
Peningkatan Mutu, Pengemasan, dan Inovasi
Kemasan menarik dan kesan modern menjadi salah satu daya tarik fast food. Agar masyarakat tertarik pada makanan tradisional, sebisa mungkin kemasan makanan tradisional dibuat eye catching. Kita bisa mencontoh produk makanan kecil di Cina yang dikemas dengan bungkus menarik.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mutu makanan. Kualitas makanan harus bagus dengan pemilihan bahan lokal berkualitas. Lebih baik jika dilengkapi dengan izin dari BPOM dan labe halal untuk menjamin keamanan dan menambah kepercayaan konsumen.
Cara lain yang bisa dilakukan untuk mencuri hati konsumen adalah melakukan inovasi pangan. Kue tradisional seperti getuk yang semula hanya terbuat dari singkong bisa ditambah dengan keju sehingga melahirkan varian baru. Hal ini berlaku untuk penganan lain. Kita bisa memadukan bahan makanan lokal standar dengan produk pangan global.
Kampanye Hidup Sehat
Eksistensi makanan tradisional akan kembali berkibar jika kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat kian meningkat. Salah satu faktor pendukung gaya hidup sehat adalah pola makan. Banyaknya penyakit degeneratif yang menyerang masyarakat modern salah satunya disebabkan junk food atau makanan sampah yang kaya kolesterol dan minim gizi.
Murdijati seperti yang tertulis di Gatra.com menilai masyarakat sekarang lebih mengejar kenikmatan ketimbang manfaat yang terkandung dalam makanan. “Saat ini orang lebih cenderung berpikir instan dalam memilih makan sehingga kurang mempertimbangkan kandungan dan nilai gizi dalam makanan tersebut. Sehingga tidak heran saat ini banyak warga yang menderita penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, koleseterol.”
Prof dr. Muhammad Sulchan, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro di salah satu artikel di suarakarya-online.com juga mengungkapkan junk food menjadi salah satu pemicu penyakit kanker. “Globalisasi mendorong terjadinya perubahan radikal dalam sistem ritel pangan, yang ditandai dengan menjamurnya hypermarket, restoran cepat saji, waralaba, food court dari berbagai penjuru dunia yang sebagian besar menyajikan junk food atau makanan sampah dengan resiko terkena kanker sangat tinggi,” papar Sulchan. Proses pengolahan dan pematangan fast food beresiko menyebabkan kanker, imbuhnya.
Guna mengurangi kanker, Sulchan menyarankan agar masyarakat lebih banyak mengkonsumsi makanan lokal berbahan baku alami dan diolah secara tradisional. Ia menambahkan mengkonsumsi tahu dan tempe dari kedelai lokal lebih sehat ketimbang kedelai impor.
Bersinergi atau Membatasi Ritel Modern?
Sejengkal kaki melangkah di jalanan ibukota, kita akan menemui ritel modern baik dari dalam negeri maupun asing. Entah itu minimarket ataupun area shopping mall. Sehingga, bisa dibilang sejauh mata memandang yang terlihat adalah deretan ritel moderen.
Ritel modern jumlahnya terus menggunung meski pemerintah telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta dan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 44 tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perpasaran Swasta di DKI Jakarta. Aturan ini menegaskan jarak minimal pasar tradisional dengan ritel modern sekitar 2,5 km.
Realitanya, kita kerap menemui tiadanya jarak antara ritel modern dengan pasar tradisional. Dan ini sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan, antara satu ritel modern dengan yang lain jaraknya hanya satu depa atau hanya dipisahkan oleh tembok.
Meski kondisi di lapangan berkata tidak ada zonasi, dan aturan hanya tinggal sebuah tulisan di atas kertas, seorang pejabat di Pemprov DKI Jakarta seperti yang dimuat di mediacenterkopukm.com mengatakan zonasi tetap berlaku. Namun, buru-buru ia menambahkan, sepanjang barang yang diperjualbelikan berbeda tidak ada masalah. Lemahnya pengawasan pemerintah member ruang gerak selebar-lebarnya bagi peritel asing.
"Aturannya sudah tepat, tapi yang masih lemah adalah pengawasan pelaksanaan peritel asing," kata dia.
Dengan masifnya jumlah mereka, bisa dipastikan makanan tradisional pun menyurut. Pasalnya, sebagian besar content makanan yang dijual adalah produk pangan global. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, upaya yang bisa dilakukan sekarang adalah bagaimana ritel-ritel itu memberi ruang bagi produk makanan tradisional kita. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perindustrian berencana meningkatkan volume penyerapan pangan lokal skala industri kecil dan menengah pada ritel modern menjadi 25%. Hingga tahun 2009 penyerapan usaha ritel produk IKM pangan lokal ke area perbelanjaan modern baru sekitar 10%.
Tahun 2007 jumlah IKM pangan lokal yang memproduksi makanan tradisional sebanyak 140 ribu unit dengan konsentrasi terbesar di Pulau Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan mencapai 340 ribu orang. Berdasarkan data Depperin seperti yang dimuat di situs kontan.co.id, jumlah IKM pangan pada 2008 tercatat 18.064 unit dengan tenaga kerja sebanyak 57.438 orang. Jika mengacu data terakhir (2008) berarti ada penurunan IKM secara kuantitas.
Namun, peningkatan daya serap tidak cukup tanpa membatasi keberadaan ritel modern. Bagaimana mungkin pangan lokal bisa berkembang jika ia hanya menjadi tamu di area ritel modern yang kini menjajah ruang perkotaan hingga perkampungan. Sudah saatnya pemerintah sungguh-sungguh memberikan nafas bagi ritel pangan lokal untuk menghidupkan makanan tradisional.
Waralaba Pangan Berbahan Lokal
Potensi makanan lokal yang besar namun belum tergali secara optimal bisa diselesaikan dengan mewaralabakan pangan lokal. Tentunya sebelum menjadi item waralaba dan business opportunity (BO), produk tsb telah dikenal dan digemari masyarakat. Sayangnya, beberapa tahun terakhir, dari sekian banyak waralaba pangan lokal berbahan lokal hanya sedikit yang mampu bertahan.
Tiga tahun lalu BO minuman teh kemasan sangat menjanjikan. Dengan modal kecil sekitar Rp 2,5 juta hingga Rp 4 juta sudah bisa membeli BO minuman teh kemasan. Omset yang diperoleh pun terhitung lumayan. Namun, seiring kian banyaknya pemain sejenis, maka omset bisnis minuman ini pun mulai menurun. Seorang teman yang memiliki satu booth minuman teh kemasan mengeluh. “Boomingnya hanya tiga tahun,” ujarnya.
Nasib serupa juga dialami BO lain seperti singkong keju yang laris manis bak kacang goreng sekitar dua tahun lalu. Lalu banyak orang bermain di bisnis ini. Hasilnya, kompetisi pun kian ketat. Bahkan, kini kita jarang menemui lagi singkong keju yang biasanya dijajakan di gerobakan.
Pelaku usaha yang akan mewaralabakan produknya seharusnya memiliki plan business, riset matang tentang pengembangan produk, SDM, dan pemasaran. Sehingga, umur usaha tidak sesingkat tanaman jagung. Mereka harus banyak belajar pada waralaba asing yang bisa menyebar produknya di seantero dunia. Meski ada beberapa waralaba makanan lokal yang masih eksis hingga sekarang, sayangnya mereka mengembangkan makanan asing dengan bahan baku impor. Sehingga, perkembangan usahanya tidak berpengaruh pada kemajuan pertanian kita.
Permodalan dan Perizinan
Salah satu kendala yang dihadapi sebagian besar pelaku industri pangan lokal adalah permodalan. Saat ini pemerintah mengeluarkan program KUR atau kredit usaha rakyat yang bertujuan membantu akses permodalan bagi pelaku IKM. Sayangnya, hanya sebagian dari pelaku UKM di bidang pangan yang di-cover modal perbankan. Selebihnya masih terjerat bunga panas rentenir.
Sejatinya pemerintah telah berupaya memperluas akses pembiayaan KUR dengan menggandeng Bank Pembangunan Daerah sebagai bank semula. Semula KUR hanya disaurkan enam bank nasional. Lagi-lagi kondisi di lapangan tidak semanis kesepakatan yang telah disetujui. Banyak dana KUR yang akhirnya hanya parkir.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam men-support pangan lokal adalah perizinan usaha. Sejumlah pelaku UKM di bidang pangan mengeluhkan lamanya proses perizinan di BPOM (Badan Pengawasan Obat dan makanan). Hal tersebut sangat kontras dengan izin impor yang terbilang kilat.
Ketua Apindo Sofyan Wanandi seperti dikutip di bisnis Indonesia.com menegaskan jika pemerintah serius mendukung industri dalam negeri, proses perizinan di BPOM diharapkan dipermudah dan dipersingkat. "Kasihan industri kita ini, dipersulit, diputar-putar. Paling cepat 7 bulan mereka mengurus perizinan. Rata-rata di atas 1 tahun, bahkan ada yang 2 tahun."
Sangat disayangkan dan menjadi kerugian besar bagi bangsa ini jika generasi mendatang hanya mengenal donat, fried chicken, burger, wafel, es krim, pancake, french fries, kebab, dll yang notabene merupakan produk asli luar dengan bahan baku impor. Sementara makanan tradisional berbahan baku lokal terlantar dan tidak dipedulikan.
Sudah menjadi keharusan ketika sebagian dari kita terbiasa mengkonsumsi makanan luar, pangan lokal pun juga dikenal di negeri orang. Bukan sebaliknya, pangan global menjajah kita, sementara pangan lokal mati secara pelan-pelan. Saya membayangkan penganan tradisional kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bisa go international dan diwaralabakan. Ah, akankah mimpi itu menjadi kenyataan? Atau hanya khayalan yang tetap menggantung di awan-awan. Pangan lokalku, ah nafas kehidupanku.

Susan Sutardjo

Kamis, 30 September 2010

LOMBA SURAT UNTUKMU, NAK

Ungkapkan perasaan hati Anda saat menunggu kehadiran buah hati di tengah keluarga Anda. Siapa tahu Anda berkesempatan memberi hadiah yang lebih istimewa berupa buku? Berikut ini informasi lomba yang diselenggarakan oleh Azkah Madihah:


DESKRIPSI LOMBA

Lomba ini terbuka untuk umum. Tujuan utamanya adalah untuk membuat buku berjudul sama, “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu.” dan “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ayahmu.” Berisi ungkapan hati seorang calon ibu dan ayah yang ingin disampaikan kepada anak-anaknya kelak. Contoh penggalan surat ada dalam postingan ini: “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu.” meski pun bukan merupakan format baku dalam penulisan surat, silakan berkreasi dengan jenis dan teknik penulisan maupun gaya bahasa.

PERSYARATAN LOMBA

Lomba penulisan surat ini memiliki persyaratan umum sebagai berikut:

1. Peserta diperkenankan memilih kategori surat yang diikutsertakan dalam lomba, yaitu:
1. “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu.” Diperuntukkan bagi para perempuan, baik yang sudah menikah atau pun belum, yang belum memiliki anak. Diperkenankan bagi calon ibu yang sedang mengandung anak pertamanya.
2. “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ayahmu.” Diperuntukkan bagi para lelaki, baik yang sudah menikah atau pun belum, yang belum memiliki anak.
2. Lomba ini terbuka bagi kalangan umum, dengan latar belakang apa pun.
3. Surat merupakan karya sendiri, asli, bukan terjemahan maupun saduran karya orang lain, jiplakan, atau plagiat (karya orang lain).
4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
5. Panjang tulisan adalah 2 (dua) sampai 3 (tiga) halaman A4 dengan font Times New Roman ukuran 12 pt, spasi tunggal tanpa ilustrasi atau foto.
6. Karya tidak sedang dan belum pernah diikutkan dalam lomba lain.
7. Setiap penulis dapat mengirimkan lebih dari satu tulisan.
8. Peserta tidak dipungut biaya apapun.

PENGIRIMAN KARYA TULIS

1. Surat dikirimkan dalam bentuk attachment file Microsoft Word (.doc, .docx, .rtf) ataupun PDF ke email azka.madihah@gmail.com atau azka.madihah@yahoo.com beserta biodata penulis. Format bagi judul email adalah [Surat Untukmu, Nak: “Judul Surat yang Diikutsertakan dalam Lomba”].

2. Bagi yang memublikasikan karya suratnya di laman website atau weblog, mohon cantumkan URL postingan ini (http://azkamadihah.wordpress.com/2010/lomba-surat) dalam karyanya, agar semakin banyak yang mengetahui tentang lomba ini. Silakan cantumkan juga alamat URL postingan Anda tersebut dalam email yang dikirimkan ke alamat di atas.

3. Panitia paling lambat menerima file naskah surat paling lambat pada 6 Oktober 2010, berdasarkan Waktu Indonesia Barat (WIB) yang tercantum dalam format pengiriman e-mail penerimaan.

HADIAH

Hadiah yang disiapkan sebagai tanda penghargaan atas partisipasi peserta ialah:

Juara I Lomba Menulis “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu/Ayahmu” (untuk satu orang, tidak dipisahkan antarkategori) memperoleh plakat, uang senilai Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dan novel “Rahim” karya Fahd Djibran.

Juara II Lomba Menulis “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu/Ayahmu” (untuk satu orang, tidak dipisahkan antarkategori) memperoleh plakat, uang senilai Rp. 300.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dan novel “Rahim” karya Fahd Djibran.

Juara III Lomba Menulis “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu/Ayahmu” (untuk satu orang, tidak dipisahkan antarkategori) memperoleh plakat, uang senilai Rp. 200.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dan novel “Rahim” karya Fahd Djibran.

Apabila buku jadi diterbitkan, setiap karya yang masuk ke dalam buku “Surat Untukmu, Nak. Dari Calon Ibumu/Ayahmu.” akan mendapatkan sertifikat penghargaan dan satu eksemplar buku yang diterbitkan. Tanda penghargaan ini akan dikirimkan maksimal satu bulan setelah buku diterbitkan.

PENJURIAN

1. Penjurian akan dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama oleh juri seleksi tahap pertama yang dilakukan pada 6-13 Oktober 2010.
2. Penjurian tahap kedua dilakukan untuk menilai naskah yang lolos tahap pertama, dan dilakukan pada 14-21 Oktober 2010.

PENGUMUMAN PEMENANG

Pengumuman pemenang akan dilakukan pada 28 Oktober 2010 di weblog http://azkamadihah.wordpress.com.

KETENTUAN LAIN

1. Panitia memiliki hak menerbitkan tulisan-tulisan yang masuk menjadi sebuah buku dan memiliki hak atas pemasukan yang diterima dari buku tersebut.

2. Panitia membuka kesempatan berkorespondensi dengan pengirim karya melalui alamat email yang tercantum di atas. Dapat pula mengirimkan pertanyaan kepada Aisha (aachan_putri@yahoo.com).

3. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

Sumber: http://azkamadihah.wordpress.com/2010/09/06/lomba-surat-untukmu-nak-dari-calon-ibumuayahmu

Ini Adik Dua

Ini Adik Dua
Fadhilla Berlian Nisa, ponakanku kedua, buah cinta kakakku Indang Nuryanti dan suaminya Ikhwan, umurnya baru 19 bulan atau belum genap 2 tahun kala adiknya, Muthia Salsabila lahir. Muthia hadir ke dunia pada Februari 2001. Sebagai balita, wajar jika Dhilla, sapaan akrab Fadhilla, butuh perhatian khusus dari kedua orang tuanya. Sayangnya, perhatian itu sedikit tereduksi sejak kehamilan ibunya hingga kehadiran adiknya.
Kehamilan Muthia memang tidak direncanakan. Kakakku juga sempat shok saat tahu ia mengandung. Padahal, saat itu umur Dhilla baru 10 bulan. “Ya kaget saja, ga menyangka kalau hamil,” kata dia. Pasalnya, jarak antara Dhilla dengan kakaknya, Andra Hidayat, lumayan jauh, 7 tahun.
Dengan kehamilan ketiganya itu, konsentrasi kakakku terbagi dua, Dhilla dan calon bayinya. Ia juga menyiapkan mental Dhilla sebagai kakak sejak dini. Sebisa mungkin ia memberikan pengertian bahwa tak lama lagi Dhilla akan memiliki adik bayi.
“Genduk arep duwe adik (Dhilla mau punya adik-Red)” begitu ibunya kerap bicara kepada Dhilla kecil. Namanya juga bayi, Dhilla tidak terlalu tahu konsep adik itu seperti apa. Ibuku juga ikut memberikan pengertian kepada Dhilla.
Namanya juga bayi, Dhilla kecil tidak terlalu mengerti konsep kakak adik. “Tapi sebisa mungkin aku mengenalkan adik barunya,” kata Mba, panggilanku untuk kakakku. Dhilla kadang suka memegangi perut ibunya. Dan saat itulah kakakku bilang,” Ini ada adik Dhilla di dalam perut ibu.”
Memendam Cemburu
Kesibukan mengurus Dhilla dan mempersiapkan kelahiran lumayan menguras energi kakakku. Beruntungnya ada suami, ibu, dan ibu mertua mba serta tetangga sekitar yang memback-up mengasuh Dhilla. “Ini sangat lumayan membantu. Dhilla yang mengurusi orang banyak,” kata kakakku yang sehari-hari waktu itu sibuk mengurusi usahanya, produksi bakso.
Pertengahan Februari 2001 kakakku melahirkan bayi cantik bernama Muthia di sebuah klinik di Kota Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Dhilla di rumah bersama ibuku yang notabene nenek Dilla. Sesampai di rumah, mba mengenalkan Muthia kepada Dhilla.
Reaksi yang muncul saat Dhilla dikenalkan pada adik barunya adalah melengos. “Kelihatan sekali kalau Dhilla marah.,” kata Mba menambahkan, “Apalagi setelah dia melihat ada makhluk mungil serupa dengannya berada dalam pangkuan ibunya.”
Dhilla langsung menangis saat ibunya menyusui Muthia. “Ia seperti tidak rela ASI yang dulu miliknya kini disusu adiknya,” kata Mba. Terlebih, setelah hamil, ASI kakakku tidak keluar. “Kasihan Dilla, ia minum ASI hanya sampai 10 bulan.” Praktis hanya air putih yang Dilla minum sejak ibunya mengandung hingga Muthia lahir.

Dhilla juga seperti melakukan aksi boikot. Beberapa hari setelah adiknya lahir, ia hanya diam. Padahal, Dhilla kecil suka berceloteh. Syukurlah, meski Dhilla kecil protes kepada ibunya, ia tidak sampai memusuhi Muthia. “Dhilla tidak pernah mencubit adiknya atau memukul. Ia malah kerap memegang adiknya. Meski cemburu, ia sayang kepada Muthia,” kata Mba.
Seperti tahu kondisi ibunya yang repot mengurus adiknya, Dhilla akhirnya lebih dekat ke ibuku. Sejak adiknya lahir, Dilla kerap main sendirian. Padahal usianya belum genap 2 tahun. Bahkan, yang mengharukan, ia kerap main sendirian di atas kursi bundar balita beroda sampai tertidur sambil memegang buku dan pensil. Sesekali ia mengeluarkan suara ta ta ta ta sambil memegang pensil dan buku. Jika sudah kelelahan, ia tertidur dengan buku di tangannya.
Jika sedang haus, Dhilla yang masih berada di atas kursi latihan jalan beroda itu akan berujar,“Mik nyu.” Artinya mimik banyu atau minum air putih. “Kadang ia juga bilang yuyus artinya susu (susu formula-Red), namun sangat jarang. Dhilla tidak suka susu formula,” kata Ibu.
Kendati terkesan biasa saja, tidak rewel, ternyata Dhilla memendam cemburu yang mendalam dengan adiknya. Selang sebulan kelahiran Muthia, tepatnya saat usia Dhilla 20 bulan ia jatuh sakit. “Badannya demam karena memendam cemburu,” kata Mba. Akhirnya kakakku merayu Dhilla untuk menyusu lagi. “Eh, setelah diberi ASI sembuh,” ujarnya. Sejak saat itu kakakku kerap menyusui keduanya. “Tapi yang diprioritaskan Muthia.”
Adiktu
Sejak lahir hingga berumur enam bulan Muthia kerap bangun tengah malam hingga pagi. “Kalau bangun Muthia pasti menangis,” kata Mba. Kerewelan Muthia membuat perhatian Mba pada Dhilla berkurang. “Kalau adiknya nangis terus, Dhilla kerap tidur sendiri. Biasanya Bapaknya yang menemani,” kata Mba.
Sering jika rasa cemburu Dhilla muncul, ia minta ibunya menyusuinya berbarengan dengan ibunya. “Kadang kalau aku lagi menyusui Muthia, ia bergelayutan di punggungku, minta ASI juga.” Dhilla akhirnya menyudahi ASI ketika berumur 2,5 tahun.
Dhilla kecil kemudian mengisi hari-harinya dengan bermain pasaran. “Kadang bikin sambal-sambalan dengan mengulek dedaunan sambil bilang tak enthek enthek tak uleg-uleg maksudnya aku nguleg sambel,” kata Ibu tersenyum. “Dhilla anak yang lucu. Kadang kalau lagi main pasaran, ia ditanya tetangga, lagi ngapain Lek. Dhilla menjawab lagi pacangna maksudnya lagi pasaran hehehe,” imbuh Mba.
Begitu selesai mandi, kata Mba, Dhilla akan main ke tetangga dan bilang,”Atu wayuk, atu mangi (Aku ayu, aku wangi) sambil memegangi pipinya yang berbedak.” Biasanya tetangga orang dewasa hanya bilang,”Masak sih nduk. Kok ga ada bau harumnya ya.”
Kerap kali Dhilla juga digoda oleh tetangga sebelah. “Nduk, adik aku ambil ya.” “Jangan, itu adiktu, adik dua (Jangan, itu adikku. Adik Dhilla).” “Ya, meski ia cemburu pada adiknya, ia nggak rela adiknya diambil orang,” kata Mba tertawa.
Sekitar umur 3 tahun Dhilla mulai menempatkan diri sebagai kakak. Ia sering mengajak ngomong adiknya. “Mba Dua. Ini adik Dua (Mba Dhilla. Ini adik Dhilla),” celoteh keponakanku bermata indah itu.

Nyatanya fokus perhatian seisi rumah kepada bayi Muthia begitu membekas dalam hati Dhilla. Ia merasa dinomorduakan. Hingga, saat ia bisa menulis, yang ia tulis di buku adalah setiap orang hanya sayang kepada adik. Tidak ada orang yang sayang kepada Dhilla. “Aku sedih membaca tulisan itu. Tetapi bagaimana lagi. Sebenarnya aku ingin member perhatian yang sama. Tetapi Muthia sangat rewel,” kata Mba.
Tangis Muthia
Hingga usia menjelang TK, Muthia selalu rewel. Ia kerap menangis keras dan menjerit hingga suaranya hampir habis. Saking kerasnya tangisan Muthia, orang se kampung bisa mendengar lengkingannya. Terkadang kalau kelamaan, keponakanku itu menangis hingga batuk dan seperti muntah.
Ada seorang teman kuliahku yang kala itu bermain ke rumahku sempat geleng-geleng kepala melihat tingkah keponakanku yang satu itu. “Dia itu menangis kayak menyanyi saja ya,” komentar temanku. Tangis Muthia seringkali terdengar. Ia menangis tidak mengenal waktu. Bahkan, tidak ada sehari pun yang terlewat tanpa tangisannya.
Bukan hanya teman kuliah yang gumon dengan tingkah Muthia. Keluarga besar dan tetangga pun heran melihat ‘hobby’ keponakanku membuat ‘nyanyian’. Muthia akan menangis kencang jika keinginannya tidak dipenuhi. “Kalau saat ini minta A, ya harus ada A.” jelas Mba.
Meski Muthia rewel, Mba tetap sabar. Imbasnya, perhatian ke Dhilla menyusut. “Dhilla tumbuh besar lebih banyak dengan Ibu,” kata Mba. Maka, yang dirasakan Dhilla adalah ibunya hanya sayang kepada Muthia. “Padahal sama-sama sayang. Hanya karena adiknya rewel luar biasa akhirnya perhatianku lebih fokus pada Muthia.”
Setelah kuamati, perilaku Muthia waktu kecil itu mungkin termasuk temper trantum. Menurut psikolog RSUD Cilacap Reni Kusumowardhani, temper trantum adalah suatu letupan amarah hebat yang terjadi pada anak usia 2 hingga 4 tahun untuk menunjukkan kemandiriannya dengan sikap negatif.
Penyebab temper trantum karena anak merasa frustasi apabila keinginannya tidak segera dipenuhi. “Mereka tidak mengenal kata ‘nanti’. Sehingga sulit untuk menunda atau menunggu pemenuhan atas keinginannya. Oleh karena itu, jika keinginannya tidak terpenuhi, anak balita akan merasa frustasi,” jabar Reni.
Menangis kencang, membuang sesuatu, kata Reni, menjadi sarana balita mengurangi rasa frustasinya. “Karena anak balita belum mampu mengontrol emosinya dan mengungkapkan marahnya secara epat,” jelasnya.
Ada beberapa situasi yang bisa memicu anak marah. Antara lain anak terlalu lelah, bosan, lapar, sakit, keinginannya tidak terpenuhi, tidak tahu apa yang diinginkan. Faktor lain adalah anak tidak mampu melakukan sesuatu sendiri, serta orang sekitar salah mengerti dengan yang ia maksud. Namun, ada juga lho temper trantum anak yang terjadi karena mereka meniru perilaku orang tuanya.
Karena perilaku ini terjadi hingga usia 4 tahun, menjelang 5 tahun Muthia berubah total menjadi anak manis. Ia tidak menunjukkan kerewelannya lagi. Yang membuat orang takjub, selain berperilaku manis, Muthia juga menjadi anak cerdas. Kini kedua keponakanku telah duduk di bangku kelas 4 dan 6 SD. Keduanya baik Dhilla maupun Muthia termasuk siswa berprestasi di sekolahnya. Keponakanku sayang anak impian masa depan. Semoga.
Tips Menangani Anak Temper Trantum
Tindakan preventif:
-Orang tua menjadi contoh yang tepat dalam menyalurkan emosi seperti saat ia marah.
-Tidak terpancing emosi saat anak marah.
-Beri penghargaan atau respon positif saat anak berperilaku baik.
-Siapkan mainan, buku cerita, dll yang menarik anak saat mengajak mereka ke acara yang kemungkinan membuatnya bosan atau lelah.
-Sering mengajak anak berkomunikasi tentang perasaannya.
-Beri perhatian cukup.
-Salurkan anak pada kegiatan positif.
Jika terlanjur temper trantum.
-Beri perhatian sewajarnya, jangan berlebihan
-Pegangi anak yang sedang marah tanpa mencederainya.
-Bersikap tegas, tetapi lembut, dewasa, peduli, dan positif.
-Alihkan perhatian anak dengan aktivitas lain.
-Kalahkan raungan tangis anak dengan suara tegas sehingga ia mendengarkan orang tua.
-Jangan memukul atau berucap kasar.
-Segera bawa anak ke tempat yang tenang, tidak terlalu ramai untuk menenangkannya.
Tips Mengasuh Balita dengan Jarak yang Berdekatan
-Berikan pengertian kepada kakak, kalau sebentar lagi ia akan mempunyai adik.
-Tanamkan pemahaman bahwa adik bukan saingan kakak, tetapi teman bermain yang menyenangkan.
-Tanamkan kebanggaan sebagai seorang kakak.
-Jangan dibedakan antara kakak dan adik. Misalnya segala hal mendahulukan untuk adik.
-Berikan penghargaan dan pujian jika kakak dan adik berperilaku positif.
-Berlaku adil dalam memberikan hukuman. Jangan membela adik karena ia masih kecil.
-Komunikasikan kepada kakak bahwa ayah dan bunda sangat menyayanginya, sama seperti menyayangi adik.
-Ajarkan meminta maaf jika kakak atau adik berbuat salah.
Susan Sutardjo

Rabu, 29 September 2010

Meminimalisir Korban Jiwa dengan Melek Gempa

Gempa tidak membunuh. Yang merenggut nyawa adalah material yang jatuh menimpa manusia. Melek gempa menjadi upaya meminimalisir korban jiwa.
Muthia, salah seorang keponakanku yang duduk di kelas 3 Sekolah Dasar swasta sepulang sekolah bertanya soal gempa kepadaku. “Tante, kenapa kalau terjadi gempa bumi kita mesti sembunyi di kolong meja ya?” “Agar tubuh kita terlindung dari reruntuhan, sayang,” jawabku. Muthia mengangguk. Ia kemudian cerita tanggap gempa yang diajarkan gurunya di sekolah.
Materi tentang gempa dan hal-hal yang harus dilakukan sebagai upaya penyelamatan ketika bencana itu terjadi memang mutlak diajarkan di sekolah. Tidak hanya di sekolah, sebagian perkantoran di Jakarta saat ini juga kerap mengadakan simulasi penyelamatan kala gempa melanda. Sirine akan dibunyikan dan karyawan keluar gedung melalui tangga darurat jika berada di lantai bertingkat.
Sosialisasi tindakan tanggap gempa seharusnya juga gencar dilakukan kepada masyarakat. Entah itu melalui forum PKK, arisan, pengajian, ataupun media televisi. Pemerintah melalui perangkatnya hingga tingkat kelurahan dan RT bisa membuat program sadar gempa.
Mengapa melek gempa urgen bagi kita? Menurut Sciense For a Changing World Indonesia termasuk negara rawan gempa. Hal ini dikarenakan negara kita terletak di cincin api pasifik dengan 452 gunung berapi dan terjepit tiga lempeng yakni Eurasia, Pasifik, Hindia Australia menyebabkan Indonesia salah satu lahan subur gempa. Mengapa demikian? Karena aktivitas tektonik akan aktif terus. Selain itu, rapuhnya batas kontinen juga ikut menyumbang terjadinya gempa. Wajar jika gempa menjadi bencana rutin yang memporak porandakan sebagian daerah di Indonesia.
Desember 2004 gempa dahsyat hampir 9 skala richter mengguncang sebagian Sumatera dengan tsunami mengiringinya. Kerusakan paling parah terjadi di Aceh dengan korban jiwa mencapai 283.106 orang. Disusul gempa di Nias, Kutacane, Aceh Tenggara, dan Bahorok Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, dan Padang Sumatera Barat pada September tahun lalu.
Seringnya gempa menggoyang Sumatera disebabkan gerak patahan di sepanjang pulau dan pergeseran bertemunya lempeng Indo-Asia dan Eurasia. Gempa akan terus mengancam hingga gerakan patahan mencapai titik stabil.
Malangnya, tidak hanya Pulau Sumatera yang rawan gempa. Gempa pernah meratakan sebagian rumah penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta, Tasikmalaya, dll. Menurut Badan Meteorologi Klimatalogi dan Geofisika (BMKG) sebagian besar wilayah Indonesia seperti Pulau Sumatera, Jawa, Maluku, Sulawesi, dan Papua rawan gempa. Penyebabnya tak lain adalah gerakan ketiga lempeng sekitar 3 hingga 4 cm tiap tahun.
Tindakan Saat Gempa
Dengan kondisi geografis rawan gempa maka setiap warga yang bermukim di daerah rawan gempa harus aware. Artinya, tanggap dan tahu apa yang harus dilakukan baik tindakan preventif sebelum gempa dan saat gempa mengguncang daerahnya. Karena yang berbahaya dari bencana gempa adalah material rumah dan benda tajam lain yang rubuh akibat aktivitas gempa.
Sebelum Gempa: Tindakan Preventif
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan warga dan pemerintah sebagai upaya preventif pencegahan korban jiwa.
-Bangunan Tahan Gempa
Masyarakat seyogyanya mendesain rumahnya tahan gempa. Demikian juga pemerintah, harus mendesain gedung perkantoran pemerintah dan mewajibkan perkantoran swasta dan pertokoan bandel jika diguncang gempang. Kalau pun desain rumah atau kantor tidak tahan gempa, sebisa mungkin material rumah tidak berbahaya. Misalnya tidak menggunakan genting beton yang beratnya lumayan untuk atap rumah atau perkantoran. Sebaiknya menggunakan material ringan sebagai atap rumah, perkantoran, dan pertokoan.
-Siapkan Sembako di Bawah Tanah
Saat gempa mengguncang, keberadaan sembako menjadi langka. Kita tidak bisa menggantungkan pada bantuan yang datang. Sebaiknya menyimpan sembako seperti mie instan, beras, dan biskuit di bunker atau bawah tanah dan diganti secara berkala. Mengapa di bawah tanah? Karena kalau disimpan seperti biasa kemungkinan besar sembako tertimbun karena tertimpa material bangunan.
-Simpan Air Mineral Galon
Komponen penting yang paling dibutuhkan saat gempa adalah ketersediaan air bersih. Karena biasanya jaringan listrik mati, bangunan runtuh, dan aktivitas transportasi kota lumpuh, maka air bersih menjadi langka. Simpan beberapa air mineral gallon di bawah tanah.
-Simpan Tenda, Sleeping Bag, Emergency Lamp, Lilin, Korek, dan Senter
Tenda diperlukan saat sebagian besar bangunan runtuh. Demikian juga senter dan emergency lamp atau lampu darurat, dan lilin sebagai alternative penerangan. Sleeping bag digunakan sebagai alas tidur.
-Kenali Lingkungan Rumah dan Kantor
Dengan mengenali lingkungan rumah dan kantor secara baik, kita akan lebih mudah ke mana kita akan keluar menyelamatkan diri dan mencari pertolongan.
-Kenali Lokasi Pintu, Lift, dan Pintu Darurat dengan Baik.
Kita tidak perlu mencari-cari lokasi pintu darurat, lift, jika sudah tahu secara baik lokasinya. Selain itu, saat gempa terjadi orang mudah panik. Sehingga proses keluar dari bangunan akan lebih lama.
-Simpan Dokumen Penting di Tempat Aman
Ijasah, sertifikat, dan surat berharga lain sebisa mungkin ditaruh di satu tempat yang mudah dibawa jika terjadi bencana.
Mencermati Sinyal Alam
Alam sejatinya memberikan sinyal kepada penghuni bumi. Tanda-tanda yang diberikan jika akan terjadi gempa bumi antara lain adanya awan di langit yang memanjang seperti angin tornado atau pohon atau batang dengan posisi berdiri. Selain itu juga adanya medan elektromagnetik seperti lampu menyala redup padahal sedang dimatikan, suara televise tidak jelas, atau tulisan di fax yang kita terima terlihat berantakan. Sinyal alam yang lain adalah banyak hewan yang lari atau menghilang. Sebagian mereka juga mengeluarkan suara.
Tindakan yang Dilakukan Saat Gempa
Nah, apa saja tindakan yang harus dilakukan saat gempa mengguncang. Hal ini sangat tergantung pada posisi di mana kita berada ketika gempa melanda.
-Di Mobil
Kurangi kecepatan, menepi ke bahu jalan. Turun, keluar dari mobil, mencari tanah lapang untuk mengantisipasi dari kemungkinan kebakaran mobil dan tertimpa bangunan. Jangan berada di dekat pom bensin, atau di bawah jembatan penyeberangan.
-Di Pantai
Lari menjauhi pantai sebisa mungkin. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi jika terjadi tsunami.
-Di Pegunungan
Hindari daerah yang kemungkinan terjadi longsong seperti di bawah lereng dll.
-Di Kantor
Keluar bangunan dengan tenang dan tertib melalui tangga darurat. Kepanikan hanya akan membuat tangga penuh dan proses keluar akan terhambat. Jangan gunakan lift atau tangga berjalan untuk menghindari listrik mati saat berada di dalam lift. Jika tidak memungkinkan keluar, bersembunyi di bawah meja untuk melindungi badan dari benda-benda tajam seperti kaca dan tembok yang runtuh.
-Di Pertokoan
Jika suasana panic dan semua orang berebut keluar, sebisa mungkin lindungi kepala dengan tas atau keranjang. Jauhi barang yang bertumpuk dan mudah tergelincir.
-Di Lantai Basement
Jangan panik, berjalan tenang ke arah tembok dengan kepala menunduk dan ditutupi tas hingga mencapai pintu keluar.
-Di Rumah
Matikan kompor jika sedang memasak. Keluar rumah dengan merangkak dan mencari tanah lapang guna menghindari keruntuhan material bangunan. Merangkak diperlukan karena kalau berjalan biasa akan jatuh karena terjadi bangunan. Ini bisa dilakukan jika jarak kita dengan pintu kurang dari 12 meter. Namun, jika jarak kita dengan pintu lebih dari 12 meter, lebih aman sembunyi di bawah meja atau kolong kasur untuk menyelamatkan diri dari bangunan rumah yang roboh.
-Di Jalan
Jauhi bangunan tinggi, papan reklame, tiang listrik, pohon yang kemungkinan akan roboh karena gempa. Waspada juga pada kondisi jalan, apakah merekah atau tidak.
-Di Kereta Api
Tetap tenang, jangan panik sambil melindungi kepala dengan tas menuju pintu keluar. Jauhi tiang kereta. Ada kemungkinan kereta akan berhenti karena aliran listrik mati. Tetap tenang berjalan ke pintu keluar.
-Mencari Informasi
Kepanikan kerap membuat seseorang melakukan tindakan yang salah. Untuk itu dipelrukan informasi yang memberikan panduan langkah penyelamatan.
-Berdoa
Berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan upaya dan bentuk kepasrahan manusia dalam mendapatkan keselataman dari Sang pemilik alam.

Susan Sutardjo

Selasa, 06 Juli 2010

Biaya Sekolah, Kualitas, dan Gengsi

Investasi terbaik adalah di bidang pendidikan. Seolah menjadi mantera sakti penjamin masa depan buah hati, maka para orang tua pun rela merogeh kocek hingga puluhan juta rupiah hanya demi masuk sebuah TK ternama. Sebut saja temanku itu Ida. Ia menyekolahkan anaknya di sebuah TK ternama di kawasan Cimanggis Depok, Jawa Barat. Pertama kali aku mendengar biaya sekolah anaknya mba Ida, aku hampir melompat jauh. Untung bukan lompat jatuh :p
"Berapa mba, Rp 23 juta. What? Hanya untuk masuk TK?" kataku membelalak.
"Ia mengangguk."
Demi anaknya, mba Ida membobol celengannya. Ga kebayang kan, seberapa besar tuch celengan hingga muat Rp 23 juta. Tapi, yang pasti bentuk celengannya bukan babi. Percayalah teman. "Tabunganku habis San, terkuras untuk biaya TK Hava," kata dia.
"Terus?" selidikku.
"Ya pusing saja. Duitku habis."
"Memangnya tidak ada pilihan lain?" protesku.
"Di situ yang terbaik. Satu guru hanya mengajar lima anak."
"Pantesan," desisku.
Pengalaman shock dengan biaya pendidikan Toto Chan berlanjut ke sekitar rumah. Bak seorang pendata sensus, aku menanyai ibu-ibu muda soal biaya sekolah anak mereka.
"Mba, Hira masuk TK mana?" tanyaku kepada Bunda Hira.
"Ini, masuk TK NF."
"Ooo...kenapa masuk TK itu, kan biayanya mahal," balasku.
"Anaknya yang mau. Karena anak sekitar kompleks sini rata-rata sekolahnya di sana."
Kembali bibirku membulat.
"Berapa biayanya?"
"Rp 8 juta."
Wow. Kataku dalam hati.Fantastis.

Suatu kali aku bertemu dengan seorang ibu yang kelelahan mengatur jadwal hariannya, antar jemput anak. "Sekolah anaknya jauh banget bu?"
"Ya mba, nyari yang terbaik untuk anak," ujarnya tersenyum.
Ibu itu rumahnya di sebuah kawasan real estate di Depok. Kedua anaknya disekolahkan di TK dan SD di Rafless Hills Cibubur. Bisa dibayangkan capeknya menjadi sopir pribadi tiap hari. Alamak...
Bukan hanya tenaga yang terkuras, uang juga mengalir deras.
Untuk menjadi bagian keluarga di TK tersebut, si ibu rela mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Bahkan, biaya bulanannya pun tak kalah fantastis. Jutaan rupiah.
Biaya jutaan hingga puluhan juta rupiah untuk masuk sebuah TK adalah sebuah kemewahan untukku.
Bagi seorang anak manusia yang besar tanpa mengecap pendidikan TK. Dulu sempat iri melihat ijazah TK seorang teman yang dengan bangganya di pajang di lemari kacanya. Kenapa aku tak punya ijazah itu ya? Batinku. Ya jelas lah. Aku tidak sekolah TK. Wajar jika aku terus terbengong ketika mendengar angka puluhan juta rupiah untuk sebuah TK.
Dalam sejarah hidupku, pendidikanku banyak ditopang oleh negara. Sekolah SD di SD inpres. Buku tinggal pinjam ke perpustakaan. Sekolah SMP juga sama, SMPN. Begitu juga SMA. Bahkan hingga di bangku kuliah pun, aku hanya membayar SPP hanya sampai dua semester. Selebihnya di-cover beasiswa dari luar negeri.Maka, lidahku kelu tiap mendengar angka fantastis untuk masuk TK dan SD.
Seorang teman, lulusan Fakultas Ekonomi UI dan suaminya lawyer mengaku tidak tertarik memasukkan anaknya yang baru berusia 3 tahun ke playgroup 'branded'. "Emak-emak sini pada memasukkan anak-anaknya di sekolah-sekolah swasta yang mahal. Kalau anakku enjoy di sekolah biasa, itu lebih baik. Toh ayah ibunya di sekolah biasa saja juga bisa mendapat pendidikan baik," ujarnya.n Ia menginginkan anaknya tumbuh kembang bersama anak-anak lain dari kalangan kurang mampu. "Biar dia tumbuh sewajarnya," kata dia.
Uniknya, meski telah mengeluarkan biaya selangit, para orang tua yang memasukkan sekolah bergengsi, tetap ragu akan masa depan dan kecerdasan anak-anaknya. Seorang ibu berkilah," Masukin TK anak biayanya jutaan, kalah sama biaya kuliah. Kira-kira ada jaminan ga ya, besar nanti dia jadi doktor?" Nah lho....

Selasa, 18 Mei 2010

Gila Manusia Aku Insomnia

Awal 2010 kehidupanku dijejali dengan beragam peristiwa yang membuatku menjadi benar-benar manusia. Baru saja melangkah ke tahun macan, sudah banyak kerikil tajam yang terhampar. Bermula sebuah hal penting di pertengahan 2009. Namun berakhir kekecewaan yang harus dipendam. Meski, masih bersyukur ada kompensasi lain sebagai sebuah hiburan. Yach, anggap saja itu hiburan. Mirip anak kecil yang rewel lalu dikasih permen agar ia terdiam. Lalu balik menangis lagi.
Malangnya, kompensasi hiburan itu pun akhirnya dirampas oleh seorang kawan yang selama ini sudah kuanggap sebagai saudara. Ia merampas mainan kesayanganku yang kuperoleh dengan segenap perjuanganku. Bahkan dengan aliran air mata. Tragedi kelam itu terjadi Maret 2010. Paranoid dan kehausan akan kekuasaan telah mengantarkan teman dekatku menjadi malaikat pencabut nyawa.
Padahal, ia tahu bahwa aku tak minat pada kursi itu. Aku tak tertarik duduk lama di gedung itu. Sebuah bangunan yang menyisakan banyak kenangan muram di memoriku. Gedung yang kerap mengungku karena banyak tanda tanya di sana. Juga beragam topeng manusia yang menyeramkan di belakangnya. Sejak awal aku di sana, sudah tertanam kebencian itu terhadapku. Ah, kadang aku bertanya,”Apa yang mereka iri dariku?”
Kalau ingin kompetensinya sama dengan aku, kenapa tidak mengembangkan diri? Untuk urusan nasib, jika kondisi finansialku lumayan, itu toch sudah kehendak Tuhan. Apakah aku harus miskin demi memuaskan hati mereka? Apakah aku harus menghilangkan embel-embel sarjana agar setara?
Serangan itu kian membrutal kala si penembak adalah seorang teman. Entah alasan apa ia bersekutu dengan gerombolan emak-emak yang sedari dulu memborbardirku dengan fitnah, pembunuhan karakter di depan atasan, dan tudingan miring yang jauh dari kebenaran. Dan semuanya berakhir pada lahirnya regulasi baru. Berkehendak aku diborgol, nyatanya yang tertawan seorang kawan. Tak tega melihat kawan terkena hukuman, majulah aku bak seorang pahlawan kesiangan.
Dua tahun berlalu. Peristiwa serupa terulang lagi. Ya, gara-gara sebuah kursi panas. Aku tahu, bagaimana khawatirnya temanku itu jika kursi itu tiba-tiba menghilang seiring pensiunnya atasan. Bahkan ia menuding sang atasan tidak akan rela melihat kantornya tetap ada kala ia telah purna. Jahat banget pemikirannya.
Aku nyaris muntah melihat ia bermuka manis kepada sang atasan menjelang waktu pensiunnya. Namun, kekhawatiran tidak beroleh kursi tertinggi sepertinya terus menghantui. Maka, dilakukanlah tindakan itu. Mencoret namaku! Itu gila. Dia ingin menghapus satu nama yang dengan terang benderang dikatakan oleh atasan, nama itu berpeluang menggantikannya. Dan peluangnya sama dengan dia.
Seperti ribuan anak panah dan ujung pisau menuju dada. Sesak. Robek. Darah. Luka. Ya, ia menganga. Mengalir air mata. Dan berujung insomnia. Sebuah realita yang hingga kini aku pun tak percaya. Seorang kawan dekat yang berubah manusia gila tega menusukkan belatinya hingga jiwa merana.
Belum juga luka itu mongering, goresan baru muncul. Datangnya kawan lama yang lebih mirip seorang psikopat. Mengusik kedamaian yang ada. Mencoba memancing berharap ikan didapat. Tak tahan dengan ulah ularnya, kusambangi dia. Aku tak rela dia menjadi benalu. Belum juga reda, muncul sengatan dari orang gila. Mengumpat dengan kata-kata jorok yang entah ia beli di terminal mana. Dan berakhir dengan tusukan tetangga demi sebuah tiket masuk ke sebuah geng baru. Tuhan Maha Besar, kuatkan aku menghadapi ini semua menjadi pelajaran hidup berharga. “Meski berusaha selalu membersihkan badan, acapkali kita terkena cipratan comberan. Kendati sudah berusaha menjaga diri dari perkataan dan perbuatan cela, bukan berarti fitnah, tudingan, hinaan, celaan dan ejekan akan lari dari hidup kita. Perbuatan baik bukan sebuah garansi hidup akan selalu landai. Acapkali gelombang besar datang menghantam dari orang sekitar.

Sabtu, 03 April 2010

Tak Seputih Sapi Tak Sebuluk Kerbau

Berulangkali aku menatap wajahku. Tak puas, kini kuraba wajah putihku. Hasil kerja sebuah cream murahan. Meski sudah murah, tetap saja aku menawarnya! Sampai mbak penjaga tokonya geleng-geleng kepala. Nih orang bener2 pelit stasiun gambir. Pikirnya. Eh pelit kayak gambir. Pokoknya pahit! Ini adalah parade manusia kurang pede. KIP. Korban iklan pemutih. Tergiur berwajah putih menawan seumpama Aura Kasih weleh weleh weleh...kalaupun apes paling mirip Syahrini uhuk uhuk...

Yess! Wajahku kinclong. Tapi nggak sampai seperti porselen. Mengkilap. Atau bleaching cream yang mujarab membuat muka seperti hasil setrikaan. Licin. Putihnya masih standar. Buluk nggak, mirip sapi juga jauh. Natural.

Gara-gara wajah bersihku, pujian beruntun menimpaku. Rasanya aku seperti mendapat duren jatuh. Langit seakan cerah. Meski mendung tebal menggantung. Atau aku seperti di limusin, padahal sedang keringetan desak-desakan di gerbong kereta yang pengapnya benar-benar dahsyat. Sumpah, kadang aku juga heran. Bisa-bisanya aku menjalaninya dengan perasaan senang. Padahal saat di dalam gerbong itu, aku tak ubahnya kambing atau sapi yang desak-desakan di truk. Malah masih mendingan mereka. Hewan itu tak perlu desak-desakan. Karena jumlahnya sama. Lah, kalau naik di KRL ekonomi, turun satu, naik sepuluh. Kebayang kan?

Penderitaan itu langsung melayang jika mendengar pujian dari sekitar. Padahal, saat itu rupaku tak karuan. Keringat meleleh, bedak sudah hilang. Bahkan lipstik pun tak tertinggal sisanya. Itulah konsekuensi kalau kamu setia pada barang murahan. Batinku. Sialan.

Mulanya, kaget, akhirnya aku kian terbiasa. "Sekarang kok kinclong sih?" Pasti dulu-dulu melihatku nggak pakai kaca mata. Protesku. "Kamu cantikan sekarang San." Baru sadar ya, dari dulu gue memang mirip Dian Sastro tahu. Kataku dalam hati. Yah, pujian-pujian itu menjadi bonus atas jerih payahku menyapu wajahku.

Tapi yang paling bete, saat semua orang memuji, tidak dengan my bebe. Sadar saja tidak, kalau muka belahan jiwanya putihan sekarang. "Mas, ada yang berubah nggak dengan wajahku?" Eh, dia cuman bengong. "Apanya ya yang beda?" katanya polos dengan muka tak berdosa. Oh, my God! Makanya, waktu melihat iklan produk pemutih yang menampilkan pasangan jadi lebih cinta pada kita, aku rasanya ingin nyamperin sutradaranya. Ingin kusampaikan, kalau laki-laki itu tidak memperhatikan wajah kita putihan atau iteman. Lah, kalau begitu, untuk apa mutihin wajah ya? Ya juga ya. Jawab kata hatiku. Mending hati saja dulu diputihin. Tapi masalahnya hati putih dan hitam nggak kelihatan. Kalau wajah kan kelihatan bo'. Minimal kayak elo, dapat pujian. Batinku. Whatever, sekarang yang pasti wajahku tak seputih sapi tapi juga tak sebuluk kerbau. Emmmeeehhhhh....:p

Jumat, 02 April 2010

Hujan

-Teruntuk my bebe

Arakan hitam memenuhi angkasa
Ah, mendung menggantung di cakrawala

Titik air menyentuh bumi
Sebagian rintiknya membonceng di pucuk daun
Atau menetes pada sebatang dahan

Gerimis kecil menyulap dirinya menjadi hujan
Datang bersama kawan
Sang kilat dan halilintar

Mari kita rayakan
Mari berhujan-hujanan
Tak usah takut pada hujan
Jika ia datang untuk suburnya kehidupan

(Sembari menatap awan menawan di langit Selatan Jakarta)

Macet

Suara knalpot motor pecah
Greng greng greng
Mobil ikut teriak
Din din din

Deretan mobil tak jalan
Maju dua menit
Diam seperempat jam
Wajah wajah gelisah dan muram
Menyebar di bus angkutan
Juga di sedan nan nyaman

Barisan kendaraan diam itu tak di parkiran
Tetapi mengulart di jalan
Terperangkap dalam jerat kemacetan


(Jakarta, di atas sebuah kopaja, betapa gerahnya...."cepetan dong bang!")

Sabtu, 13 Maret 2010

Perempuan-Perempuan Perkasa

Kakinya tertatih meniti jalanan
Matanya tajam memandang ke depan
Meski kepalanya menunduk
Menyamakan dengan posisi badan nan membungkuk

Tumpukan jerami rebah di punggung
Ikatan kayu di punggung menggunung
Juga pakan ternak yang dibiarkan menggantung

Mereka
Para perempuan perkasa
Mengangkut beban
Menjadi hal biasa
Tamparan sinar matahari
Tak membuatnya ngeri
Meski badan legam
Terpapar sinar
Bermandikan peluh
Tak membuatnya mengeluh

"Cuma ini yang bisa kami lakukan," kata mereka
Mengangkut hasil ladang, membawa ranting hutan
Yang penting anak-anak bisa makan

Lasem, 14 Maret 2010

Kamis, 11 Maret 2010

Horeee...Merokok Haram...Yesss!

Mataku berbinar mendengar Muhammadiyah mengeluarkan fatwa rokok haram. Sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa serupa. Tapi entah kenapa, fatwa itu dianggap angin lalu. Para perokok tetap asyik mengisap asap beracun. Tidak hanya di smoking area, tetapi juga di mana-mana.

Uniknya,hidungku sensitif banget terhadap bau rokok. Jadi, tiap pagi nongkrong nungguin mas kereta datang, aku selalu sibuk pindah bangku. Kadang orang-orang heran melihatku nomaden seperti itu. Padahal aku melakukan itu menghindari orang yang merokok.

Apesnya, tuch kaum perokok kok nggak mau bersatu ya, ngumpul gitu di situ bangku. Kalo gitu kan lebih fair. Saling mengisap asap rokok tetangga. Faktanya, mereka menguasai bangku peron stasiun. Hermannnnn!

Pernah, karena tiap bangku sudah dibook perokok mania, akhirnya aku dapat jatah bangku paling ujung. Mana sepi pula. Kalau sudah begitu, pikiranku langsung horor dech. Takut diculikkkkk....(sok imutttt)

Respons pertamaku, kalau tidak bisa pindah tempat, begitu mendapati orang merokok adalah menutup hidung. Kalau ada masker untung, kadang pakai selampe alias sapu tangan. Ketemu tissue sikat. Kalau tidak ada semuanya, ya pakai tangan.

Terus, kalau perokoknya masih muda, aku biasanya ngomong langsung saja, rokoknya menggangguku. Kalau nggak bisa ngomong, aku pura-pura batuk. Ada juga bapak tua yang tidak peka. Aku sudah batuk, tetap saja asap rokoknya ngebul. Mana dia duduk di depanku lagi. Akhirnya, karena aku gemes, aku batuk dan mulutku kudekatin ke telinganya...hahaha....Huk huk huk huk...

Karena blebekan, telinganya pekak, si bapak turun dari angkot. Yesss! aksiku membuahkan hasil hihihi. Bangga, padahal tuch bapak memang mau turun huuuu.

Intinya, begitu mendapati perokok di dekatku, aku langsung beraksi. Siap-siap mendengar teriakan batukku untuk menandingi asap beracun itu. Awassss! huk huk huk!!!!

Jumat, 05 Maret 2010

Macet

Suara knalpot motor pecah
Greng greng greng
Mobil ikut teriak
Din din din

Deretan mobil tak jalan
Maju dua menit
Diam seperempat jam
Wajah-wajah gelisah dan muram
Menyebar di bus angkutan
Juga di sedan nan nyaman

Deretan kendaraan diam itu tak di parkiran
Tapi mengular di jalanan
Terperangkap dalam jerat kemacetan

Macet menjadi santapan sehari-hari
Berada dalam mobil mewah pun serasa di pedati
Bergerak pelan cuma satu inci
Macet membuat hati nyeri

Jakarta, 5 Maret 2010

Kamis, 25 Februari 2010

Salon, Fashion Show, Muludan

Aku sibuk mendandani puluhan anak perempuan. Mereka membawa sarung dan kerudung. Satu persatu teman sebayaku ini aku benahi sarung dan kerudungnya. Satu beres, ganti yang lain. Acapkali mataku menatap jam dinding kayu yang dipajang di gebyok (dinding kayu). “Waduh, wis jam pitu (sudah jam 7 malam),” kataku dalam hati. Aku pun kian tangkas me-make over teman-temanku.
Sekitar 15 menit kemudian urusan wardrobe beres. Rasa puas langsung menyebar berpendar. Aku bak fashion stylist yang sukses merubah penampilan. Bergegas, aku dan pasukan, gadis kecil berusia 12-15 tahun berjalan beriringan ke masjid jami’ kampung, 400 meter dari rumahku. Kadang terdengar suitan dari anak laki-laki yang melihat rombonganku. Setiba di halaman masjid, kami langsung menempati pos strategis, menerima tamu.
Malam ini adalah muludan (peringatan maulid nabi). Masjid di kampungku yang biasanya pelit cahaya, tiba-tiba menjadi terang benderang. Suasana lebih meriah dengan alunan suara Muthoharoh, penyanyi Qasidah Nasida Ria, dari beberapa speaker kotak berukuran segede gaban ditumpuk, diletakkan di pojok depan, mirip penerima tamu…:p
Entah kenapa, tiap melihat speaker hatiku senang. Pasalnya, speaker atau kalau di kampungku namanya salon, identik dengan keramaian. Maka, aku bungah tiap ada suara salon. Tetangga ngawinin anak, menyewa salon. Punya hajat nyunatin anak, pasang salon juga. Pokoknya, kalau mau ramai harus pakai salon atau sound system. Salon ini lebih modern ketimbang toa. Sebelumnya, warga kampung memasang toa di atas batang bambu tiap ewoh (punya hajat nikahan atau khitanan). Era toa di kampungku berakhir sekitar tahun 1988. Ajaibnya, anak-anak akan riang begitu mendengar toa mengalun. Lagunya pun, tak jauh dari Nasida Ria. “Desamu Desaku…Desa yang indah permai….” Bak nyetrum, kepalaku langsung manggut-manggut begitu mendengar lagu kasidah…:p
Tradisi toa berganti begitu ada tetangga yang menyewakan sound system. Namanya Lek Jamiri. Orangnya pendek, wajahnya pas-pasan. Tapi bibirnya selalu tersenyum, memamerkan giginya yang seolah menjadi daya tariknya. Sayangnya, sekarang beliau sudah almarhum. Tiap ada tetangga punya gawe, dengan senang hati Lek Jamiri mendorong speaker kotak dalam gerobak.
Pertama kali melihat kotak hitam bersuara ngebas, kami anak-anak kecil langsung lompat-lompat. Seperti mendapat uang recehan dari orang Cina yang datang ke makam. Di desa kami banyak kuburan Cina. Tiap kaum tionghoa ziarah ke keluarganya, aku dan teman-teman kecilku dengan setia membuntuti mereka. Sampai kami dibagi duwit kacer bergambar burung (Rp 5). Begitu tahu uang logam sudah ada di tangan, kami pun langsung bubar meninggalkan kuburan Cina atau kami sebut bong. Uniknya, mereka bisa membaca pikiran kami yang mengerubung kedatangannya.
Nah, malam ini speaker Lek Jamari yang tertata rapi siap mensukseskan muludan. Maidoh (ceramah) dari Pak Kyai pun bisa dinikmati seluruh warga kampung dan tamu dari desa sebelah. Saat melintas di depan deretan speaker hitam ini, siap-siap saja dada akan berdebar-debar. Bukan seperti orang yang lagi jatuh cinta, tapi lebih mirip kejatuhan beribu ton batu. Rasanya der der der der.
Laiknya remaja pada umumnya, aku dan teman-temanku sesekali lirik sana sini sambil mempersilakan tamu yang datang. Siapa tahu ada yang lumayan. Muludan menjadi momen yang kami tunggu. Karena di sinilah kami remaja putrid bisa show off. Bahkan, ada temanku yang dekat dan nikah gara-gara candaan waktu muludan. Saat teman-temanku cekikikan, aku biasanya hanya mesem. Jaim ceritanya. Herannya, seleraku sangat berbeda dengan teman-teman ABGku ini. Entahlah, di mataku tak ada yang menarik. Padahal, wajahku biasa-biasa saja. Tapi punya criteria cowok idaman di atas rata-rata. Ini namanya tak tahu diri. Atau tepatnya tak pernah berkaca…:p
Sekitar jam 20.00 wib acara dimulai dengan sambutan panitia. Dilanjutkan dengan uraian dari kepala dusun, kepala desa, camat. Walahhh sepertinya lebih panjangan sambutannya daripada ceramahnya. Bagiku, suara mereka seperti angin. Tak kudengar, hanya lewat sesaat. Lelah mendengarkan pidato dari pemuka desa, acara diseling dengan break. Ini adalah waktuku dan teman-temanku. Kami pun unjuk kebolehan. Di sini kami tidak menyanyi kasidah, berpuisi, atau menjadi saritilawah. Tentu tidak. Kami bergerak lincah di antara pengunjung muludan, sementara tangan kami sigap membagi bentel (nasi dibungkus daun pisang dengan lauk seadanya) yang ditaruh dalam rantangan bambu. Saat inilah kami seperti bintang yang bersinar. Mata pengunjung tak lepas mengarah ke kami. Bukan terpana pada paras kami, tapi tertuju pada bentel yang kami bawa.
Acara bagi-bagi bentel yang berlangsung 20 menit, biasanya berlangsung heboh. Acapkali kami harus sedikit tarik urat kalau ada ibu-ibu yang minta jatah lebih dari satu. Kejadian ini sering terjadi. Akibatnya, tidak semua pengunjung kebagian bentel. Kasihan kan. Usai membagi bungkusan nasi, kami kembali ke posko makanan. Biasanya di sana berkumpul remaja putra dan putri. Sesekali candaan keluar yang disambut tawa lepas. Saat seperti inilah aku memilih menyelinap kabur keluar. “Mendingan mendengarkan maidoh dari mbah kyai,” kataku dalam hati.
Aku kembali ke tempat jamaah perempuan yang duduk lesehan di plastik terpal. Sembari selonjor, aku menyimak uraian dari mbah kyai. Sesekali kami sholawatan bareng mbah kyai. Sejam kemudian, sekitar jam 22.00 wib acara usai. Kami pun berduyun-duyun keluar dari kompleks masjid menuju rumah masing-masing. Saat berjalan pulang, aku menantikan muludan tahun depan. Membayangkan akan memakai sarung dan kerudung warna apa. Ah, peringatan maulud nabi yang seharusnya untuk mengingat sejarah Rasulullah, dalam otakku telah berganti menjadi ajang fashion show. Duh, ampuni aku kanjeng nabi. Sungguh bukan maksud hati untuk melupakanmu. Tapi bagaimana lagi, di kampungku jarang ada pesta. Satu-satunya keramaian yang ada ya pas maulid nabi…Speaker masjid masih mengalun…Sholatullah Salamullah Ala thoha Rosulillah….
Cerita masa lalu.

Senin, 22 Februari 2010

Romansa SMA

Mencoba menggulung waktu
Menyentuh kembali keceriaan lugu
Mengusap persahabatan dulu

Ya ya ya aku teringat semua
Berkejaran pelajaran,
Bercumbu dengan katalisator sang guru Hepi
Atau asyik menyimak Pak Guru Cos Teta dalam pelajaran Fisika

Bermain dengan alam
Menyatu dalam jilatan air laut
Atau meneguk segarnya air kelapa muda
Sambil bercanda dengan jagung yang menyembul di tegalan

Aha ha ha, tawaku pecah membuncah
Teringat kawaanan berulah
Membuka dan menemukan benda bertuah
Dalam tas nyentrik teman sebelah
(John Pari, Bastio....)

We are the big fam...my friends

Jakarta, 21 Februari 2010

Sabtu, 02 Januari 2010

Resolusiku 2010

Pergantian tahun selalu menyimpan harapan baru bagi tiap insan. Salah satunya aku. Menyambut tahun baru 2010, beragam rencana pun telah kususun. Mulai yang berhubungan dengan karir, keuangan, kesehatan, ibadah dan ehem...soal cinta. Bagiku, resolusi itu menjadi guideline langkah kita selama setahun. Langkah-langkahku akan seperti di tuntun di atas rel resolusiku.
Namun, begitu, tidak semua harapan itu terwujud. Ada satu dua harapan yang masih terus terbungkus kabut. Tentunya, asa yang masih di awan itu diharapkan turun ke bumi bersama hujan. Dan menjadi prasasti raihan sebuah keberhasilan.
Target 2010:
Pribadi
Mencoba Bidang Baru-Umroh-Beli property lagi-Kursus Fashion Design-Online shop-Join eksibisi-15 Cerpen-3 Novel-Sewa Kios
Social activity:
-Bikin buku untuk Yulia-Mengajar murid Rumah Kehidupan-Donasi mukena-Bantuan buku ke MI Al Hamidiyah-Bantuan operasional transport MTS Sluke-Bantuan modal kerja bagi dhuafa-Bantuan buku ke PRT-Bantuan ke Yayasan.
I hope my aim will be come true………..