Kamis, 23 April 2009

Pulang



“Mas capek ya, minum teh hangat dulu, biar lebih santai dan hilang penatnya,” ujar Larasati sambil melepas helm dan jaket suaminya yang baru pulang kerja. Nita, putri kecil mereka langsung lari menghambur ke pelukan sang ayah.
“Ibu..., ayah mana kok ga ada di kamar?” Nita menangis berlari ke arah ibunya. “Ah...aku melamun lagi...Rabbi...kuatkan imanku ya Alloh...” pinta Laras. Tangisan Nita membangunkan lamunannya. “Adik kangen sama ayah ya?” Gadis kecil berusia 3 tahun itupun mengangguk sambil sesenggukan. “Bunda juga kangen kok.” Laras pun memeluk putrinya. Tak terasa bulir-bulir bening menetes dari kelopak matanya. Ah, suami yang sangat ia cintai, penuh kasih dan bertanggung jawab kepada keluarga telah pergi. “Aku kangen sama kamu Mas. Kapan kamu kembali,” ujar Laras lirih dan sesaat kemudian ia beristighfar. “Ya Allah, aku harus merelakannya, ikhlas.”
Pandangan Laras tertuju pada surat yang baru ia dari PT Karya Selaras, perusahaan tempat suaminya dulu bekerja dan akhirnya di-PHK. Amplop putih itu merajut kembali kenangan indah bersama suaminya. “Andaikan surat itu datang lebih cepat,” gumam Laras.
Laras dan suaminya bernama Budi tinggal di kontrakan petak di gang sempit daerah kumuh dekat Pasar Turi Surabaya. Budi bekerja sebagai buruh pabrik biskuit. Kendati penghasilannya tak seberapa, mereka selalu mensyukuri rejeki yang diperoleh. “Pintu rejeki Alloh itu selalu terbuka lebar kalau kita mau berusaha Dik,” ujar Budi setiap kondisi keuangan menipis karena melambungnya kebutuhan keluarga. Belum lagi membayar kontrakan, mengirim uang untuk orang tuanya yang telah lanjut usia dan sakit-sakitan serta membiayai pendidikan adik-adiknya. Beban berat yang harus ditanggung.
Kondisi itu melecut semangat Budi untuk menjemput rejeki. Kendati bekerja di pabrik telah menguras tenaganya, ia masih nyambi usaha kerupuk. Kadang Laras tidak tega melihat perjuangan suaminya. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak karena ia tidak bekerja dan sedang mengandung Nita. Sepulang kerja, Budi kulakan kerupuk kiloan di Pasar Turi. Setelah melepas penat, agak larut, ia membungkus kerupuk ke dalam kemasan kecil yang dihargai Rp 500 dan Rp 1000. Paginya, sebelum berangkat ke pabrik, Budi menyetor kerupuk ke warung-warung sekitar kontrakan dan pedagang pasar. Begitulah aktivitas sehari-harinya. Sebagai istri, Laras pun tidak mengeluh dengan kondisi mereka yang serba kekurangan dan berusaha melayani suami sebaik-baiknya, memijat suami, dan memasak makanan kesukaan suaminya.
Namun, setahun kemudian semuanya berubah, tepat setelah kelahiran putri pertamanya, Nita.Selasa malam, Laras mendapati suaminya pulang dengan wajah lesu. “Ada apa Mas, Mas baik-baik saja kan?” tanyanya dengan raut cemas. Laras pun membimbing suaminya duduk. “Dik, maafkan Mas ya. Mas bukan suami yang baik. Mulai besok Mas sudah tidak bekerja lagi di pabrik, di-PHK.” Kendati ia pun sedih mendengar berita itu, Laras berusaha tersenyum dan menatap suaminya,” Mas sudah berusaha menjadi suami baik. Pintu rejeki Alloh luas. Alhamdulillah kita masih diberi kesejatan.” Budi pun sedikit lega melihat istrinya yang sabar dan tabah, tapi ia tetap merasa bersalah. Terbayang ia tidak bisa lagi memberi uang belanja Laras dengan jumlah cukup, kiriman untuk orang tua dan adiknya pun terhenti.
Setelah di-PHK, Budi melanjutkan usahanya berjualan kerupuk di pasar. Karena fokus menangani penjualan, kini pelanggannya semakin banyak. Bahkan, enam bulan kemudian, ia bisa menyewa kios di Pasar Turi. “Alhamdulillah, kita sudah bisa menyewa kios,” ujarnya kepada Laras. Keuangan mereka pun mulai membaik.
“Dek, tadi dik Win nelpon ngasih tahu, Bapak sakit, besok kita pulang ke Semarang ya,” ujar Budi ke istrinya saat nonton TV. Paginya, mereka berangkat ke Semarang naik bus Indonesia. Ternyata kondisi bapak Budi sudah kritis. Ia pun memasukkan bapaknya ke RS. Karyadi. Sebelum balik ke Surabaya, tidak seperti biasanya, Budi menyempatkan diri pamitan ke seluruh keluarga besarnya yang berada di Demak dan Kudus. Saat itu, kondisi Budi sedang tidak fit, ia sering pusing.
Dua minggu setelah itu, Budi ingin pulang lagi ke rumah orang tuanya di Semarang. “Mas kan lagi ga enak badan, masak mau mulih ke Semarang. Ojo ndisik yo. Mengko yen wis mari, Mas entuk bali,” bujuk Laras. Entah kenapa, keinginan laki-laki sederhana tamatan SMA untuk pulang kampung dan bertemu ayahnya yang sedang sakit sangat kuat. Namun, ia baru sadar kalau belakangan ini banyak pedagang langganannya yang berhutang. Alhasil, keuangan laki-laki berusia 33 tahun itu menipis . Ia kemudian mencoba meminjam adiknya yang kebetulan bekerja di Surabaya, ternyata adiknya sami mawon, sedang tongpes alias kantong kempes. Akhirnya, Budi hanya pasrah dan tidak jadi pulang kampung.
Senin pagi,dua hari setelah Budi mengurungkan niatnya bersilaturrahim ke orangtuanya, ia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Akhirnya Budi berobat ke rumah sakit Dr. Soetomo. Dokter memutuskan Budi harus diopname. Laras menunggui suaminya dengan sabar. “Mas harus kuat ya, terus berdoa. Demi Nita dan bayi yang ada di kandunganku,” bisik Laras sedih. Budi pun mengangguk.
Esoknya, Selasa pagi, Budi menanyakan Nita. Laras pun mendekatkan anaknya ke wajah ayahnya. “Cium ayah sayang,” ujar Laras. Putri kecilnya langsung mencium ayahnya dan berkata,” ayah cepat sembuh ya,” ujarnya dengan nada bicara yang belum jelas. Budi pun tersenyum. Ia menatap lekat istrinya dan menggenggam tangannya. ” Mas minta maaf ya atas kesalahan dan kekhilafan Mas. Tolong jaga dan besarkan anak-anak kita Dek. Kalau nanti Mas tidak ada, tolong dikuburkan di sini saja ya.” Mendengar itu, air mata Laras tak terbendung. “Mas tidak boleh bicara seperti itu. Allah pasti memberi kesembuhan.” Budi terus menatap Laras dan buah hatinya sambil mulutnya melafadzkan nama Allah. Setengah jam kemudian mata Budi terpejam. Laras panik. Ia merasakan tangan suaminya dingin dan kaku, denyut nadi pun tak ditemui. Laras berusaha mengguncang-guncang tubuh suaminya. Tapi tubuh Budi tetap tak bergerak, kaku. Laras menangis, hatinya terluka. “Dokter...,” teriaknya. Ia pun jatuh di samping suaminya tak sadarkan diri. Tinggal Nita yang menangis melihat Ibu Bapaknya.
Selasa petang, jenazah Budi dikebumikan. Kendati berusaha ikhlas, air mata Laras terus mengalir. Beberapa kali ia pingsan. Saat tubuh suaminya dimasukkan ke liang kubur, hatinya perih. “Selamat jalan suamiku sayang. Semoga Alloh memberikan tempat terbaik.”***
Seminggu setelahnya, selasa pagi, surat berlogo PT Karya Selaras datang. Laras mendiamkan amplop itu dan tidak membukanya. Ia sangat terpukul dengan kepergian Budi. Membuka surat itu berarti mengenang kembali kebahagiaan pernikahan. Membayangkan saja Laras tidak sanggup. “Terlalu indah Mas,” ujarnya.
Ada sebentuk penyesalan yang menyusup di hatinya karena tidak mengizinkan suaminya pulang melihat keluarganya, dua hari sebelum kepergiannya untuk selama-lamanya. Ia tahu, suaminya sangat sayang kepada orang tua dan adik-adiknya. Suaminya, anak pertama dengan enam orang adik, dan empat orang diantaranya masih sekolah, adalah kakak dan anak yang sangat bertanggungjawab. Ia tulang punggung keluarga. Apalagi keluarga Budi tergolong keluarga kurang mampu, sama seperti keluarga Laras.
“Bagaimana mungkin aku tidak mengabulkan permintaan terakhirnya untuk pulang,” sesal Laras. Bahkan, detik-detik terakhir pemakamannya, tidak ada keluarga suami yang menyertai, karena mereka masih dalam perjalanan menuju Surabaya, dan sebagian lagi masih menunggui Pak Daji, bapak Budi yang hingga kini masih dirawat di Rumah Sakit. Sementara suaminya berpesan ingin cepat dikuburkan. “Ah...,” Laras menarik nafas berat. “Aku bukan istri baik, maafkan aku Mas” ujarnya menyalahkan diri.
Kembali Laras melihat amplop putih yang tergeletak di meja. Dengan menarik nafas, Laras membuka amplop. Perlahan ia membuka isinya. “Ya Alloh, kenapa baru sekarang panggilan kerja kembali ini datang,” kata Nita menangis mengingat perjuangan berat suaminya berjualan di pasar setelah di-PHK. “Kalau saja datang lebih cepat, mungkin suamiku tidak harus terlalu berat bekerja di pasar. Ia juga bisa membuktikan kalau ia di-PHK bukan karena korupsi seperti yang sering dituduhkan para tetangga. Kasihan sekali kau Mas,” tangis Laras kian kencang. Namun, ia buru-buru menyeka air matanya mendengar tangisan Nita yang kangen ingin bertemu ayahnya. Setelah Nita tidur pulas, ia meraih handphone di luar kesadarannya, ia mengirim sms ke Win, adik suaminya. “Dek, mas Budi tolong suruh pulang ke Surabaya ya.” Setelah sadar, buru-buru ia beristighfar. “Astaghfirullah, ya Allah, kuatkan hamba ya Rabbi.”
Melihat wajah cantik putrinya yang tertidur lelap sambil mengelus perutnya yang kian membuncit, semangat hidup Laras muncul. “Ibu harus bertahan membesarkan kalian sayang.” Ia pun berjanji akan meneruskan usaha suaminya, kulakan kerupuk dan akan tetap merawat cintanya kepada Budi seorang. Di saat itu, ia seperti melihat bayangan suaminya yang tersenyum kepadanya. “Mas, engkau pulang?” Tapi, bayangan itu menghilang. Yang ada hanyalah foto suaminya yang tersenyum bersama ia dan putrinya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar