Minggu, 19 April 2009

Haruskah Cerai Kala Cinta Usai


“Aku mau cerai San...,” kalimat itu meluncur dari bibir sahabatku Rea. What? Aku kaget setengah mati. Siang itu, aku ketemu Rea di cafe di kawasan Jakarta Selatan. Menurutku, Rea adalah perempuan beruntung sedunia. Betapa tidak, dia mempunyai suami yang sangat mencintainya, menyayanginya, dan care terhadapnya. Tiap mereka jalan berdua, nuansa romansa cinta langsung terasa. Ketika jalan, sang suami akan selalu menggandeng tangannya. Kala mereka bercanda, suaminya tak lupa mengelus dan mengusap-usap rambutnya penuh sayang. Mereka pun selalu tertawa, bercanda kala sedang jalan bersama. Pokoknya bikin iri dech...Dan...pendaran cinta itu semakin nyata kala aku makan bareng mereka. Kedua insan itu dengan sayang menyuapkan nasi ke pasangan. Mereka berbagi makanan dengan rasa sayang. “Alangkah bahagianya pasangan ini,” kata suara hatiku.
"Re, kamu sadar dengan ucapanmu?" "San...sebenarnya dari tahun kemarin aku ingin berpisah dengan suamiku. Tapi dia tidak mau menceraikan aku. Dia sangat mencintai aku." "Re, bukankah itu yang diinginkan setiap perempuan. Dicintai, dikasihi, dan disayang...." ujarku. "Ya...tapi aku merasa ada sesuatu yang salah San," kata Rea. “Kalau kamu gak keberatan, kamu bisa cerita ke aku Re,” kataku meyakinkan sahabatku. Selama ini Rea tidak pernah menceritakan rumah tangganya. Kami kalau ketemu selalu sharing tentang kebahagiaan pernikahan. Bukan kepedihan ataupun getirnya rumah tangga.
“Suamiku terlalu sayang dan cinta kepadaku. All things that I want, selalu dibolehkan,” ujarnya. “Maybe itu sebuah bentuk kepercayaan Re. So, dia sangat percaya pada istrinya,” ujarku. “Tapi tidak begini caranya San. Dia tidak pernah menegurku kalau aku berbuat salah.” “Kalau dia tidak pernah menegurmu, kalian kan bisa discuss, kalo kamu gak nyaman dengan caranya,” kataku berusaha bijak. “Aku sudah berusaha mencobanya, dari tahun pertama pernikahan,” ujar Re. “Aku sudah capek San....”
Aku diam. Rea memainkan ujung-ujung jilbabnya. Ia melihat lalu lalang orang sambil sesekali menggigit bibirnya. “Re...percayalah, masalahmu itu bisa diselesaikan. Tapi tidak dengan perceraian. Perceraian itu hal yang dibenci Allah,” ujarku berusaha menasehati. “Aku yakin kamu punya alasan lain mengapa kamu nekad ingin cerai,” kataku menatapnya tajam. “Ada banyak hal lain. Intinya aku kecewa dengan suamiku, dan itu terjadi ketika tahun pertama pernikahan kami" terang Rea. “Re, menurutku setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Jadi wajar jika ternyata pasangan kita tidak seperti yang kita inginkan dan harapkan,” ujarku menenangkannya. “Re...coba kamu lihat perempuan lain yang dikhianati suaminya karena selingkuh dengan perempuan lain. Atau suami yang suka menyakiti hatinya dengan makian kasar atau main tangan. Kamu tidak pernah mengalaminya kan?”
“San...aku memang tidak pernah mengalami itu semua. Suamiku terlalu baik, terlalu lurus. Bahkan untuk memarahiku dia tidak tega. Seberapapun besarnya kesalahanku. Dia juga tidak pernah cemburu, meski kadang sengaja kupanas-panasi aku agak mesra dengan teman kuliah. Sampai kadang aku bertanya-tanya, seluas itukah hati suamiku?” Rea pun menceritakan kekecewaan demi kekecewaan yang dialaminya.
Sampai ketika aku mulai menyentuh makananku, ucapan pelan meluncur dari mulut sahabatku. “San, aku tidak mencintai suamiku,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. What? Aku kaget setengah mati. "Re...,” aku mengguncang bahu sahabatku. “Kamu sungguh-sungguh dengan ucapanmu? Kamu sadar kan dengan omonganmu barusan," cerocosku. “Aku tidak mencintai suamiku. Aku tahu, kamu bahkan semua orang tidak akan percaya dengan hal ini," ujar sahabatku tenang. "Re, kamu perempuan paling beruntung di dunia," ucapku. "Setiap orang yang ketemu aku selalu bilang begitu San..." kata Rea mengaduk es teler. "Bukankah itu benar?" kataku menambahkan, "punya suami yang sangat mencintai dan perhatian...jarang loh suami seperti itu di zaman sekarang. "
Rabbi...sahabatku yang selama ini aku anggap manusia paling beruntung, wanita paling bahagia di dunia....ternyata...dia sedang galau dengan rumah tangganya. Yah..terkadang, apa dilihat oleh mata kita bukanlah kondisi yang sebenarnya. Aku jadi ingat perceraian beberapa selebriti yang dari luar tampak adem ayem, tetapi di dalamnya remuk redam penuh riak dan gelombang. Apakah selama ini sahabatku juga seperti mereka, para selebriti yang berusaha menjaga imej demi popularitasnya...atau menutup-nutupi kondisi yang sebenarnya? Entahlah...
"Re, kalau kamu tidak cinta,kenapa menikah dengannya?" tanyaku. Sahabatku pun mulai menceritakan kehidupan pernikahannya yang sudah lumayan lama, enam tahun. "Awalnya aku mencintainya San...aku mau menikah dengannya juga karena aku cinta," ujar sahabatku. "Lalu....mengapa cinta itu sekarang seolah-olah sirna?" protesku. "Aku cinta dia hanya delapan bulan..." kata temanku dengan nada sedih. Aku pun berusaha menghiburnya. "Teman, bukankah cinta dalam pernikahan akan lebih bersemi menjadi kasih sayang antara dua insan. Sehingga yang lebih dominan ya kasih sayang," kataku. "Ya...memang akhirnya hubungan lebih ke arah kasih sayang. Tapi, harusnya cinta itu juga masih ada. Aku sekarang sama sekali tidak mencintainya...hanya sayang padanya. Sudah seperti kakak adik...," jelas sahabatku.
"Kamu gak cinta lagi ke suami karena kecewa dengannya?" tanyaku. "Ya...ada banyak hal yang membuat aku kecewa. Bayangan sosok suami yang kudambakan semuanya melayang," kata sahabatku. "Tapi, suamimu itu orang baik, sabar, pengertian dan setia. Apalagi yang kamu cari?" kataku berusaha mempertegas pribadi suami sahabatku itu. Temanku pun diam. Beberapa saat kemudian," ya, suamiku memang baik. Makanya aku merasa sangat bersalah ketika aku sama sekali tidak bisa mencintainya lagi. Termasuk sharing terhadapmu, membuka aibnya. Aku merasa bersalah. Tapi untuk meneruskan pernikahan ini, aku juga tersiksa"
‘Say, kamu harus mencoba menumbuhkan kembali cinta itu," kataku. "Aku sudah mencobanya San, sejak enam bulan pertama pernikahan," keluh sahabatku. Tapi San, kata sahabatku itu, "aku sudah berusaha maksimal untuk mencoba mencintainya, tapi tidak bisa," ujar temanku yang terlihat sangat tertekan dengan masalah yang menderanya.
‘Re...sebagai sahabatmu, aku ingin rumah tanggamu tetap utuh tidak pecah. Cobalah mengkomunikasikan keluhanmu, keinginanmu ke suami. Kalian berdua bisa pergi ke konsultan pernikahan. Aku yakin, masalahmu masih bisa diatasi. Asal ada kemauan dari kamu dan suamimu. Atau bisa jadi kamu terlalu serius dan sibuk dengan karirmu. Sehingga hal-hal kecil yang menjadi kekurangan pasanganmu menjadi masalah besar yang terus menerus menumpuk membesar dan akhirnya menggerus cintamu. Perceraian bukan solusi terbaik Re. Kamu juga harus mempertimbangkan keluargamu, terutama ibumu, masa-masa setelah bercerai. Status janda di masyarakat juga image-nya cenderung negatif. Pikirkanlah matang-matang” ujarku panjang lebar. ‘Ya San...akan aku coba sekali lagi. Tapi, aku tidak tahu, bisa bertahan sampai kapan.”
“Atas dasar cinta, pria dan wanita merajut rumah tangga
Atas dasar cinta pula, perceraian kadang menjadi pilihan
Apakah kala api cinta padam, perceraian satu-satunya sebuah jawaban?”

1 komentar:

  1. Mba..tolong kasih tau aku lanjutan kisah sahabatmu ini . Aku butuh utk menyadarkanku cz its same with me. Tolong mba

    BalasHapus