Minggu, 03 April 2011

Kenapa Takut Mati?

Siapa sih di dunia ini yang tidak mati. Meski kematian pasti datang, sebagian besar kita takut mati. Dan pura-pura akan hidup selamanya. Sehingga, menganggap tidak ada kehidupan setelah datangnya kematian. Sikap ini dibarengi dengan minimnya persiapan datangnya kematian. Juga mengenal apa yang disebut kematian.
Kematian menjadi hal tabu yang dibicarakan dalam sebuah keluarga. Padahal pembahasan tentang kematian dalam Islam sudah dicontohkan dalam perbincangan Lukman dengan anak-anaknya yang dimuat dalam QS Lukman. Namun, kebanyakan orang tua jarang sekali menyinggung kematian kepada anak-anaknya.
Ada sebuah dialog yang membuatku trenyuh yang diceritakan teman saya yang berprofesi sebagai dokter spesialis kanker anak. Pasien anak penderita kanker rata-rata belum mengenal kematian. Salah satu anak bertanya kepada dokter itu,”Pak dokter, kalau aku mati, apa seperti kucing yang mati tertabrak di pinggir jalan?” Pasien anak lain ada yang bertanya,”Pak dokter, apa kalau sudah mati temanku di kuburan itu cacing. Aku takut cacing.”
Ah, anak-anak yang seharusnya menatap masa depannya sebagai generasi penerus keberlangsungan hidup harus bertarung dengan penyakitnya dan menyambut datangnya ajal. Mendengarnya saja airmataku jatuh satu-satu.
***
Berbicara kematian terasa kian nyata ketika kita sakit atau menjenguk teman, keluarga yang sedang sakit parah. Minggu ini minggu menyedihkan. Bagaimana tidak. Dalam seminggu ada tiga orang teman yang dirawat di rumah sakit. Satu orang teman, masih sangat muda, baru berusia 23 tahun divonis dokter menderita jantung. Bukan hanya berbicara penyakitnya yang lumayan serius, ketika menjenguk teman tadi, aku juga seperti ditampar betapa mahalnya nikmat kesehatan yang kerap kita abaikan.
Selama dirawat seminggu, biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan jantung teman tadi lebih dari Rp 30 juta. Betapa mahalnya organ yang diciptakan Tuhan. Dan kita jarang bahkan lupa bersyukur atas nikmat sehat kita yang diberikan Tuhan secara gratis.
Usai menjenguk teman yang sakit jantung, sabtu kemarin menengok teman yang sakitnya kombinasi medis dan mistik. Temanku itu lumpuh, tidak bisa berjalan. Tubuhnya hanya tinggal tulang belulang. Sudah tujuh tahun hidupnya hanya dihabiskan di atas kasur. Ada dokter yang memvonisnya sakit lupus. Tetapi dokter lain mendiagnosa temanku itu kanker kulit. Entahlah mana yang benar.
Di luar dua vonis tadi, temanku sendiri bilang ada unsure ghaib yang berperan. Ia bilang sakitnya tidak murni medis. Percaya tidak percaya, aura mistik dalam penyakit temanku itu memang terasa kuat. Bahkan, saat aku berada di sampingnya bulu kudukku berdiri. Temanku bilang karena aku bersih sering puasa, maka aku sensitif dengan keberadaan mereka.
Kondisi temanku tadi sangat parah dengan batok kepalanya mengecil. Hebatnya, ia masih optimis sembuh. Aku juga memberikan support ke dia agar berjuang melawan penyakitnya. Ada satu hal yang baru kuketahui kemarin. Ibunya temanku bilang kalau temanku takut ajal menjemputnya. Ia meminta ibunya yang kondisinya buta selalu menemaninya. Ia takut kematian menjemputnya. Bahkan temanku pernah bilang, badannya terasa dingin tiap ada jenazah lewat rumahnya.
Kematian hal yang pasti terjadi. Bagaimana cara kita memandang kematian itu yang membuat persepsi atas takdir pasti manusia itu berbeda. Manusia dewasa pasti tahu kematian itu apa. Yang tidak manusia ketahui adalah kapan kematian dan bagaimana kematian itu datang dan bagaimana kehidupan setelah mati.
Sebagian besar agama meyakini adanya kehidupan setelah mati. Yang hilang adalah jasad manusia yang merupakan materi. Sedangkan ruh itu bukan materi, sehingga ia tidak hancur. Kematian bukan akhir segalanya atau terminasi, tetapi masa transisi dari alam dunia ke alam baru (Komaruddin Hidayat:”The Wisdom of Life”).
Bagi sufi, kematian ibarat malam pengantin. Bertemunya manusia dengan kekasih sejatinya. Sehingga kematian terkesan indah. Bagi mereka, kehidupan setelah mati itu indah. Karena itulah yang dinanti, bertemu dengan Sang Kekasih, Cahaya di atas Cahaya, Pencipta Semesta.
Ya, kematian adalah bertemunya ruh kita dengan pemilik kehidupan. Pertemuan itu tak lepas dari pertanggungjawaban amalan manusia selama hidup di dunia. Wajar jika manusia yang banyak berbuat kebajikan merasa lebih siap menyambutnya. Karena ia ingin memberi laporan atas keberhasilan kinerjanya kepada pemilik hidupnya. Sebaliknya, manusia yang lebih banyak berbuat berdasar hawa nafsunya, mengabaikan suara Tuhan akan takut menghadapi kematian. Karena beranggapan semua nikmat yang dicecap di dunia akan sirna. Begitu juga pemuasan nafsunya. Sehingga, bagi mereka kematian adalah pemutus kenikmatan. Kalau mereka mempercayai kehidupan setelah kematian, mereka juga sadar bahwa mereka akan menghadap Tuhan dengan rapor merah. Tentu ada konsekuensi bagi manusia berapor merah dan berapor biru.
Dengan mengenal kematian secara lebih lengkap, kita lebih siap menyambutnya. Bukan hanya tahu secara konsep, tetapi juga tahu bekal apa yang harus disiapkan ketika bertemu dengan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar